Ia merupakan orang yang diminta untuk ikut lelang objek tanah tersebut oleh Wahono. Semua proses lelang dan penjualan kembali yang mengurus Wahono dan Agustinus.
“Saksi hanya disuruh dan diminta tanda tangan. Semua proses lelangnya rekayasa, itu yang menyuruh adalah Wahono dan Agustinus. Sehingga aktor intelektual dalam proses lelang yang direkayasa itu adalah Wahono dan Agustinus Santoso,” tegasnya.
Atas dasar itulah Kwee Foh Lan kemudian melakukan laporan pidana telah terjadi rekayasa kepailitan yang dilakukan secara bersama oleh Agustinus dan Agnes.
Hal itu mengakibatkan Kwee Foeh Lan tidak dapat menguasai tanah tersebut karena saat dilakukan eksekusi tanah sudah hilang berpindah pada lima pemilik, dipecah. Salah satunya diatasnamakan anak Agustinus.
“Ini yang kemudian kepailitan ini dilaporkan ke kepolisian, bahwa kepailitan ini adalah rekayasa. Jadi kalau kuasa hukumnya bilang bahwa Agustinus korban ya tidak benar, padahal Agustinus yang merekayasa kepailitan ini,” sambung John.
Mengenai klaim sebagai pembeli beritikad baik, lanjut John, Agustinus Santoso justru sebaliknya. Pasalnya dua pihak tersebut berkonspirasi.
Ia menilai apabila dalam perkara ini pihak Agustus Santoso mengklaim menggunakan dasar perkara kepailitan, keliru.
Mewakili Kwee Foeh Lan, ia berharap dalam memeriksa perkara ini majelis melihat dan mempertimbangkan empat putusan sebelumnya. Yakni putusan No. 256/Pid.B/2020/PN.Smg tanggal 27 Juli 2020, putusan No. 370/Pid/2020/PT Smg jo No. 157K/Pid/2021 pada 23 Februari 2023, dan putusan No 25K/Pid/2023 tanggal 7 Maret 2023.