Sementara saat yang sama, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward O.S. Hiariej, menyatakan bahwa setidaknya ada lima misi KUHP Nasional.
“Pertama adalah dekolonialisasi. Dekolonialisasi diterjemahkan sebagai upaya untuk menghilangkan nuansa-nuansa kolonial yang ada di dalam KUHP lama,” kata Edward.
Hal itu setidaknya tersaji dalam buku kesatu KUHP Nasional yang baru saja disahkan yang tidak hanya berorientasi pada kepastian semata, tetapi juga pada keadilan dan kemanfaatannya.
Ketika hukum positif itu bertentangan dengan keadilan, katanya, maka yang harus diutamakan adalah keadilan.
“Dekolonialisasi lain yang kita lihat dari KUHP yang baru itu juga ada kebaharuan dalam pidana dan pemidanaan yang mana, meskipun pidana penjara merupakan pidana pokok, tapi dia bukan yang utama,” jelas dia.
Kedua, lanjutnya, misi KUHP yang baru adalah demokratisasi. “Bahwa tidak benar kalau dikatakan KUHP yang baru itu bertentangan dengan demokrasi,” tegas dia, seraya menambahkan bahwa KUHP itu pun tidak mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Hal itu dikarenakan, rumusan pasal tindak pidana dalam KUHP sesuai konstitusi dan pertimbangan hukum dari putusan MK atas pengujian pasal-pasal KUHP terkait.
Ketiga adalah konsolidasi penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan rekodifikasi
Keempat, harmonisasi. Diketahui bersama bahwa banyak sekali Undang- undang sektoral yang jumlahnya kurang lebih 200 yang diharmonisasikan dengan KUHP baru.”Yang kelima misi KUHP itu adalah modernisasi,” ujar dia.
Hal itu menegaskan bahwa modernisasi ini tidak terlepas dari paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi berorientasi hukum sebagai pembalasan. Sedangkan KUHP yang baru mengedepankan keadilan.
Menambahkan yang disampaikan Mahfud dan Edward, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong, mengatakan pihaknya akan melakukan berbagai cara untuk menyosialisasikan KUHP yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Januari 2023 tersebut.
Misalnya melalui dialog publik yang memanfaatkan berbagai media seperti media arus utama, media sosial (medsos), hingga seni pertunjukan rakyat.
“Kami juga berdayakan penyuluh informasi publik di daerah- daerah untuk mensosialisasikan RKUHP pada waktu itu,” katanya.
Usman pun mengungkapkan jika berdasarkan hasil monitoring di media sosial (medsos) yang dilakukan Kemkominfo, pembahasan terkait KUHP hasilnya positif. “Data yang kami peroleh sekitar 92 persen, komunikasi publik melalui media sosial tone-nya positif,” ujar Usman.
Meski demikian, terang Usman, untuk media arus utama khususnya media asing diakuinya menunjukan hasil yang sebaliknya.
Sebanyak 82 persen bernada negatif, di antaranya adalah media asing yang menyoroti terkait pasal kohabitasi atau perzinahan. Sedangkan pemberitaan di media nasional yang cenderung negatif adalah terkait kebebasan pers.
“Saya pun menyampaikan bahwa tidak ada hal yang spesifik terkait dengan pers yang diatur di dalam KUHP. Artinya, kalau ada persoalan dengan pers, maka yang kita pakai adalah Undang- undang Pers No 40 Tahun 1999,” kata Usman.
Oleh karena itu, tegas Usman, dalam kurun waktu tiga tahun ke depan Kementerian Kominfo bersama dengan Kemenko Polhukam dan Kementerian Hukum dan HAM akan terus memberikan pemahaman yang tuntas kepada masyarakat terkait KUHP yang baru ini.
Kenduri KUHP Nasional turut dihadiri oleh Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, dan Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Prof. Barda Nawawi Arief. (gie/web/bas)