Mbak Tutik menuturkan, usaha ini awalnya hanya kantin sekolah. Namun, seiring berjalannya waktu, peminatnya semakin meningkat. Saking ramainya, lahannya diperluas.
Alhasil, ia pun mendirikan beberapa gubug tempat makan lesehan. Cara ini cukup efektif untuk menampung pengunjung. Supaya lebih natural, ia buat atapnya dengan daun. “Konsepnya alam terbuka, lebih asri, dan sejuk,” ujarnya.
Ia menyebutkan, meski warungnya selalu mengalami peningkatan pengunjung, namun harga soto yang ia jual tetap sama. Satu porsi kecil dibandrol Rp 4.000, sedangkan mangkok besar Rp 7.000.
Dalam pemasaran, ia tak pernah mengiklankan warungnya, baik melalui poster maupun media sosial. Namun pengunjungnya selalu ramai.
Sehari bisa mencapai ratusan pengunjung. Tak datang dari Kota Semarang saja, dari luar kota seperti Kendal, Demak, Salatiga, Ungaran, bahkan dari Ibu Kota Jakarta juga banyak.
“Tetap murah. Bonusnya, pemandangan sawah. Dari situlah soto ini semakin dikenal,” ucap dia sembari melayani pembeli.
Salah satu pengunjung asal Demak, Asrori mengaku senang menikmati soto tersebut. Selain harganya ramah di kantong, mendapat bonus pemandangan alam. “Cocok buat saya yang biasanya sibuk di kota, bisa sekaligus healing,” tuturnya. (ifa/ida)