RADARSEMARANG.COM – Pukul 23.00, selepas menghabiskan segelas kopi di kedai, koran ini menuju ke Jalan MT Haryono, tepatnya di depan Java Mall. Bukan untuk ngemall, melainkan mencicipi salah satu bubur ayam legendaris di Kota Semarang.
Di halaman Mc Donald, Sugiyo, 59, menata meja kecil dan kursi. Sebuah rutinitas yang telah dilakukannya sejak 19 tahun lalu. Tepatnya tahun 2002, saat kuliner bubur ayam sedang ngetren. Sugiyo dan istri yang awalnya berjualan roti di Pasar Bulu, memilih menutup toko dan menjajakan bubur ayam di depan Java Mall.
Tak disangka dagangannya laris manis. Buka habis subuh, jam tujuh sudah habis. Seperti itu terus. Tidak ada promosi khusus. Laris karena gethok tular. Pelanggannya pun semakin banyak. Bahkan sebagian besar menyarankan buka lebih awal. Ia menuruti pelanggan hingga akhirnya mulai buka pukul 03.00. Tak disangka pelanggannya justru bertambah banyak. “Ada yang minta buka lebih awal lagi. Akhirnya kita memilih buka pukul 00.00,” katanya.
Prinsip jualannya sederhana, hanya menjaga kualitas bahan dan selalu mengutamakan kepuasan pelanggan. “Saya jual harga berapa aja, tetap laku,” kata perantau asal Wonogiri itu.
Pelanggannya adalah pengusaha Chinese, artis, dan pejabat-pejabat Polda. Deretan foto Sugiyo bersama artis dan tokoh-tokoh ternama tertempel di gerobaknya. Mulai dari Tessi, Limbad, Veve Zulfikar, Tomas Jordi, Habib Ja’far, hingga Chef Juna.
“Chef Juna itu sudah tiga kali makan di sini. Tiap ke Semarang pasti ke sini,” ujarnya.
Dari dulu hingga sekarang, Suyadi hanya menyediakan tiga menu. Yaitu, bubur ayam, bubur sayur, dan lontong sayur. “Kalau sekarang yang paling favorit adalah bubur sayurnya. Pake sambel goreng dan opor ayam. Sering banyak pesanan itu,” ucapnya.
Harga yang dipatok sangat terjangkau. Bubur ayam Rp17 ribu, bubur sayur Rp 18 ribu, lontong sayur telur ayam suir Rp 22 ribu, lontong sayur telur Rp 14 ribu, dan lontong sayur telur dan paha Rp 24 ribu.
Selain membuka lapak malam, ia juga melayani di jam kantor. Meski masih hanya berdasarkan pesanan. Baginya, yang paling utama adalah pelanggan malam. Kebanyakan mereka rela jauh-jauh dari luar kota. Ada yang dari Kendal, Kudus, Solo, dan Salatiga.
Sugiyo trelihat akrab dengan banyak pelanggan. Ia hampir selalu disapa ramah pengunjung. Mereka bertanya kabar, dan berkelakar. “Orang itu hampir tiap malem makan ke sini, Mbak,” jelasnya.
Budaya kehidupan Semarang yang semakin seperti Jakarta membuat bisnisnya semakin besar. Sebelum pandemi, 10 meja dan 13 tikar penuh setiap malam. Delapan orang pegawai dikerahkan melayani pelanggan. Semenjak pandemi, ia mengurangi kapasitas 50 persen.
“Jelas berpengaruh soalnya. Karyawan yang saya gunakan juga cuma empat. Yang penting tetep jalan,” terang laki-laki yang kini tinggal di Pejangli Permai, Kota Semarang ini.
Di balik gerobak berukuran 1 x 2 meter, geliat pengunjung dan pelayan terlihat jelas. Deretan panci berisi bubur dan sayur juga menggoda. Apalagi aroma opor ayam yang menyeruak, membuat perut yang keroncongan di tengah malam semakin meronta-ronta.
Sugiyo selalu menggunakan ayam kampung. Hal inilah yang membuat aroma dan cita rasa buburnya tidak seperti yang lain. Lontong yang ia gunakan juga bukan ecek-ecek. Bahan-bahan dengan kualitas premium selalu ia jaga.
Salah seorang pelanggan, Adit, 30, selalu meluangkan waktu untuk menikmati menu pak Sugiyo. Kebiasaan itu sudah ia lakoni sejak kuliah. “Soalnya rasanya bikin kangen dan udah langganan dari zaman kuliah,” terang laki-laki yang kini tinggal di Tembalang itu. (cr9/zal)