RADARSEMARANG.COM – Sekoteng, minuman penghangat tubuh dengan rasa jahe yang kuat ini biasanya disajikan sederhana. Warna airnya bening kecokelatan. Namun berbeda dengan Sekoteng Pak Woh. Disajikan dingin, mirip es campur. Satu isian yang paling khas dari minuman ini ialah misoa.
Jumat (26/3/2021) pukul 23.30 Jalan Kenanga, Kota Pekalongan, sudah sepi. Hanya satu-dua kendaraan melintas di wilayah Kampung Arab itu. Rumah-rumah dengan pagar tinggi di jalan juga sudah gelap. Tapi tidak untuk rumah nomor 33. Di depannya terparkir puluhan sepeda motor. Masih penuh manusia.
Itulah Warung Makan Pak Woh. Warung kecil itu masih sibuk ketika wartawan koran ini tiba. Mayoritas tamunya kalangan muda. Ada yang tengah makan nasi megono. Ada pula yang minum es sekoteng. Mereka tampak asyik mengobrol sambil menikmati sajian. Ramai.
Bersama Erlina, Septian, dan Tri, wartawan koran ini memesan es sekoteng. Itu merupakan menu andalan di warung Pak Woh. Sejak belasan tahun lalu ramai diperbincangkan anak-anak muda Kota Batik dan sekitarnya.
“Kok bukan seperti sekoteng. Ndak ada rasa jahenya,” kata Tri, perantau asal Kendal yang kali pertama mencicipi es sekoteng Pak Woh.
Begitu mencicipi, Tri lebih setuju minuman itu disebut es campur. Warna airnya merah muda. Rasanya manis. Disajikan di mangkuk ukuran standar.
Erlina tidak sepenuhnya sepakat dengan Tri. Pelajar asal Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, ini sepakat rasa es sekoteng Pak Woh sama dengan es campur. Tetapi, kata dia, isiannya tidak.

Isian es sekoteng Pak Woh hanya tiga ragam. Yakni roti tawar potong dadu, potongan biskuit, dan misoa. “Nah, misoa ini yang menurut saya khas. Dari awal tadi saya salfok (salah fokus) dan penasaran ke dia (misoa),” timpal Erlina.
Erlina sempat merasa aneh melihat misoa disajikan dalam minuman. Sebab, rasa misoa gurih. Sementara es sekoteng Pak Woh yang diracik dari campuran susu kental dan sirup berkarakter manis. Tetapi pada akhirnya Erlina bisa menikmati. “Ternyata enak. Malah ada sensasi gurih dan kriuk-kriuk. Jos gandos pokoknya,” ujarnya.
Septian tak banyak bicara. Meski Erlina dan Tri bertukar pendapat. Tapi, kata Septian, rasa es sekoteng Pak Woh sangat enak. Ia doyan. Tetapi tidak habis. “Sudah kenyang duluan karena makan sepiring nasi megono dan gorengan,” ungkapnya.
Warung ini ada sejak tahun 1977. Tak pernah pindah dan tak punya cabang. “Pak Woh itu generasi kedua. Pertama justru bapak saya, Pak Wan. Kemudian diteruskan suami saya itu,” cerita Fifa, istri Pak Woh.
Fifa tak mengerti mengapa ayahnya memberi nama menu itu es sekoteng. Sama seperti kebanyakan orang, setahu Fifa sekoteng merupakan minuman penghangat tubuh dengan rasa jahe kuat. “Tetapi karena sudah kadung dinamai itu, ya suami saya melanjutkan saja,” katanya.
Sementara terkait isian misoa, kata Fifa, itu merupakan hasil percobaan ayahnya. Penafsiran dia, Pak Wan ingin menggambarkan kerukunan etnis lewat semangkuk es sekoteng itu.
“Kan yang jual orang Jawa, dijual di Kampung Arab, es sekoteng dan misoa (mi) katanya awalnya dari cina, terus biskuit dari bangsa barat. Jadi ada muatan filosofisnya,” terangnya. (nra/zal)