RADARSEMARANG.COM – Menikmati secangkir kopi sambil nongkrong dan kongkow sudah hal biasa. Dharma Boutique Roastery Semarang menawarkan suasana ngopi berbeda. Pecinta kopi bisa menikmati kopi sambil belajar sejarah. Melihat langsung proses pembuatan kopi dengan alat-alat tradisional.
Lokasinya tidak mudah ditemukan. Berada di bangunan tua di daerah Pecinan dengan mengusung konsep kedai kopi outdoor.
Untuk menuju lokasi harus melewati gerbang kecil. Tepat di sebelah jendela yang dilengkapi teralis.
Aroma kopi sudah tercium begitu menginjakkan kaki di depan lapak. Setelah masuk, barulah bisa mengetahui keindahan kedai yang dikembangkan dari toko kopi tua. Beberapa meja kursi kayu berwarna coklat muda disediakan tersedia di taman kecil. Lengkap dengan hiasan vas berisi tanaman sirih gading. Ala-ala estetik.
Meja kursi itu tepat berada di bawah pohon. Praktis sangat rindang. Biasanya, pengunjung bisa berjam-jam ngopi di sini selepas menentukan pilihan biji kopi yang baru di sangrai. Atau bisa memilih yang sudah tersedia di puluhan toples. Namun ada pula yang sekedar membeli biji kopi.
Di Dharma Boutique Roastery penikmat kopi bisa sekaligus melihat proses pembuatan kopi sejak masih di sangrai secara manual. Alat-alatnya pun masih tradisional, bahkan ada yang berusia 100 tahun. Itulah yang membuat daya tarik toko kopi ini.
Tak hanya itu, bangunan dengan cat warna putih ini sangat khas dengan bangunan kolonial Belanda. Bukan hanya kedainya, begitupun dengan rumahnya.
Pemilik Dharma Boutique Roastery, Widayat Basuki Dharmowiyono mengatakan tempat yang ia kelola ini lebih fokus menjadi rumah tempat penyangraian kopi. Untuk cafe atau mini barnya, sebagai pelengkap saja. “Sebenarnya fokus utama tetap di roastery dan penjualan kopi, makanya kami hanya menyediakan sedikit kursi dan meja,” ujarnya.
Pria 77 tahun ini merupakan generasi ketiga. Jauh sebelum dikelolanya, Dharma Boutique Roastery adalah pabrik kopi bernama Margo Redjo. Pabrik itu didirikan mulai tahun 1915 oleh kakek saya, Tan Liong Le. “Hingga kini, seluruh peralatan masih ada. Namun, sudah tidak digunakan lagi untuk penyangraian. Karena memiliki nilai sejarah,” akunya.
Ia menambahkan, ada alat kopi yang pemberian Belanda itu kini di museumkan di ruangan belakang. “Kami simpan untuk museum, kalau tertarik pengunjung kami arahkan untuk melihat alat sangrai yang memiliki nilai sejarah di sini,” tambahnya. (ifa/fth)