29.3 C
Semarang
Wednesday, 8 October 2025

Mendengar Sabda Alam, Bermandi Guyuran Air Curug Madu Resmi

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Kota sudah terlalu penat dan berisik. Tak ada lagi yang ia tawarkan selain kesibukan dan polusi. Begitulah kata Khambali saat ditemui RADARSEMARANG.COM di bibir Curug Madu Resmi (CMR).

Khambali merupakan salah satu pengunjung objek wisata yang terletak di Desa Lemahabang, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan itu. Ia datang bersama istri dan kedua anaknya. “Ini kali pertama saya ke sini. Langsung berkesan. Sudah hampir satu jam saya dan anak-anak berendam di sini,” katanya.

Di CMR, pengunjung bisa menikmati sensasi alam yang masih betul-betul asri. Lokasinya masih dirimbuni pohon-pohon besar. Suasananya sejuk. Masih bisa mendengar jelas kicau burung bebas. Melihat kupu-kupu yang terbang dan hinggap. Daun-daun berguguran. Semua berpadu dengan suara gemericik air di curug. “Masih asri sekali di sini. Natural. Bisa mendengar jelas sabda alam,” ujar Khambali.

Khambali sengaja membawa anak dan istrinya berwisata ke CMR karena selain tiket masuk murah, bisa untuk merefleksi pikiran. Suasana di CMR, kata Khambali, berhasil menyegarkan pikirannya. “Air curug ini segar. Anak-anak sampai alot saya ajak mentas. Mereka betah. Tiket masuk cuma Rp 5 ribu,” ungkapnya.

Letak CMR memang jauh dari pusat kota dan keramaian. Sekitar 16 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Pekalongan, Kajen. Atau 21 kilometer jika dari pusat Kota Pekalongan. Namun lelah perjalanan akan terbayar lunas dengan suguhan CMR.

Akses menuju objek wisata ini terbilang baik. Jalannya sudah beraspal sampai ke lokasi. Namun, ketika akan sampai, jalan makin sempit. Lebarnya hanya dua meter. Masih cukup untuk mobil.

Menuju ke lokasi, mulai memasuki Desa Lemahabang, pengunjung akan disuguhi pemandangan lahan luas. Makin mendekat ke lokasi, pemandangan akan berubah beraneka jenis pohon-pohon besar dan tinggi. Khas dataran tinggi. “Ketimbang saya ajak ke kolam renang, airnya sudah dicampuri kaporit. Di sini kan alami,” kata Wasriyah, istri Khambali.

Objek wisata ini mulai dibuka sejak 24 Januari 2017. Dikelola oleh pemuda setempat. Lahan milik perseorangan. Antara pemilik lahan dan pengelola sepakat berbagi hasil sebesar 70 persen untuk pengelola dan 30 persen untuk pemilik lahan. Namun kini hasilnya masih lebih banyak digunakan untuk pengembangan.

“Ini hasil kreativitas pemuda desa ini. Bosan cuma nongkrong-nongkrong tak jelas, akhirnya muncul ide memanfaatkan potensi alam untuk tempat wisata,” kata ketua pengelola CMR Pujo Semedi, 30.

Nama Curug Madu Resmi diambil dari nama curug itu sejak dahulu. Sementara “Resmi” diambil dari nama leluhur setempat yakni Ki Resmi.

Ia mengakui, CMR masih banyak kekurangan. Masih banyak komplain dan masukan soal tempat parkir dan rusaknya beberapa sarana. “Di antaranya musala. Konstruksinya yang hanya dari bambu sudah rapuh termakan usia,” ungkap Pujo. Namun, Pujo bersama kawan-kawannya akan membenahi itu. (nra/ton/bas)

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya