RADARSEMARANG.COM – Empat mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Polines) yang sejak awal sudah konsen dengan pembuatan robot, pantang menyerah. Pandemi Covid-19 yang menerjang negeri ini sejak Maret 2020 lalu, tak membuatnya berhenti berkarya. “Sumbangsih apa ya yang bisa kami berikan kepada bangsa ini,” kata Ainur Rofik, 22, jurusan Teknik Elektro, Program Studi (Prodi) Teknik Elktro/Teknik Listrik Politeknik Negeri Semarang (Polines) kepada RADARSEMARANG.COM.
Ketika bersama dosennya menemukan ide membuat Robot Asisten Medis Autonomus (RAMA), Rofik-sapaan akrab Ainurrofik- bersama ketiga temannya Alvin, Rizal dan Abas tak ingin melewatkannya. Kesempatan itu tak datang dua kali. “Kami melihat banyak dokter, perawat dan pegawai rumah sakit, banyak yang kena Covid-19. Bahkan ada yang meninggal, pemakamannya ditolak oleh warga,” kata Rofik, selaku mekanik dan ketua tim robot.
Selama dua bulan, keempat mahasiswa yang didampingi dosen prodi Elektronika, Bagus Yunanto ST MT, 31, berhasil mewujudkan satu prototipe RAMA. Tanpa anggaran dan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. “Kami para dosen akhirnya iuran untuk mewujudkan RAMA ini. Akhirnya terkumpul uang Rp 20 juta,” kata Bagus.
Tak cukup mudah di tengah kampus yang lockdown karena pandemi Covid-19. Bersyukur, pihak kampus memberikan izin pengerjaan RAMA dengan pembatasan orang dan jam. “Setelah kami mendapatkan izin akses masuk kampus, jumlah kami dibatasi. Makanya tim kami hanya empat. Jam pengerjaan juga dibatasi dari pukul 09.00 sampai pukul 18.00 saja,” imbuh Bagus.
Bulan Agustus 2020 langsung ditunjukkan hasilnya kepada 10 petinggi Rumah Sakit (RS), Dinas Kesehatan (Dinkes) Jateng dan Dinkes Kota Semarang. Bahkan gubernur yang berhalangan hadir pada acara launching RAMA di kampus tersebut, langsung memanggil keempat mahasiswa tersebut dan petinggi Polines ke Rumah Dinas Gubernur Jateng Puri Gedeh. “Kami tak menyangka bisa diundang Gubernur Ganjar Pranowo ke rumah dinas. Kami sangat bahagia, bisa menyumbangkan karya untuk masyarakat Jateng,” kata Alvin- pemilik nama Alvin Sanata Assyakur, 22, Jurusan Teknik Elektro/Teknik Elektronika Polines yang didapuk sebagai elektronik dalam tim robot.
Sejak 16 Maret 2020, kampus Polines lockdown akibat pandemi Covid-19. Namun pada 5 Mei 2020, keempat mahasiswa itu mendapatkan tugas dari dosennya untuk membuat karya monumental untuk negeri. “Kalau itu pas bulan Ramadan,” kata Rofik mengenang.
Namun satu dari empat mahasiswa tim pembuat robot tidak diizinkan oleh sang ibu. Adalah Alvin yang rumahnya di Ungaran, Kabupaten Semarang, kabupaten tetangga Kota Semarang. Jarak rumahnya dengan kampus tempatnya belajar dan mengerjakan robot sekitar 14 km.
Saat pandemi Covid-19, di wilayah Ungaran maupun Kota Semarang banyak operasi pengamanan Covid-19 yang dilakukan Satpol PP dan aparat kepolisian maupun TNI. Banyak orang meninggal karena Covid-19. Kesadaran masyarakat untuk menghargai para korban Covid-19 masih rendah. Kalau ada masyarakat dan tenaga kesehatan yang meninggal, banyak yang merasa ketakutan tertular. Ramai-ramai melarang pemakaman warga korban Covid-19 di kampungnya sendiri. “Penolakan-penolakan itu, terasa menyedihkan dan memilukan,” kata Rofik yang sejak November 2020 ini lulus kuliah dan Desember ini akan mengikuti prosesi wisuda.
Bukan tanpa alasan, jika ibunya Alvin, yakni ibu Nurkhanah, 56, merasa khawatir. Hampir setiap kota di Jateng lockdown. Akses transportasi di tiap perbatasan wilayah ditutup dan dijaga petugas. Seluruh masyarakat dianjurkan berada di rumah, work from home (WFH) bagi yang bekerja. Dan study from home (SFH) bagi yang masih belajar. Pasar, swalayan, maupun pusat perdagangan lainnya, ditutup. Tiap perbatasan wilayah, dijaga ketat petugas aparat gabungan dari kepolisian, TNI, petugas Dinas
Perhubungan (Dishub) maupun Satpol PP masing-masing kabupaten/kota. Tiap wilayah dilakukan operasi yustisi Jogo Tonggo, untuk menjaga warganya tetap berada di rumah dan terhindar dari Covid-19. Situasi kian genting, Nuria Kurniasih, warga Sewakul, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang adalah perawat perempuan yang bertugas di bagian geriatri di RSUP dr Kariadi meninggal dunia karena terpapar Covid-19 pada 9 April 2020.
Pemakamannya ditolak oleh sebagian warga di tempatnya tinggal. Pada bulan yang sama, 57 tenaga medis di rumah sakit yang sama, positif terpapar Covid-19. Mereka di antaranya enam dokter spesialis, 24 peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), dua fisioterapis, satu petugas administrasi dan satu perawat. Setelah 8 April 2020 melakukan tes PCR dan 17 April hasilnya keluar, sebagian langsung diisolasi di Hotel Kesambi milik Pemprov Jateng. “Melihat situasi yang seperti itu, saya tak mengizinkan,” kata ibu empat anak yang sudah ditinggal sang suami yang pensiunan ASN ini khawatir.
Nurkhanah berharap keamanan bagi anaknya agar tak terpapar Covid-19. Apalagi banyak kasus yang tanpa gejala atau Orang Tanpa Gejala (OTG). Takutnya juga sang anak menulari orang rumah. Maka, anaknya yang ketiga dari empat bersaudara ini diminta tetap berada di rumah membantunya saja. “Ibu tidak hanya mengkhawatirkan saya terpapar Covid-19. Tapi takut saya pergi kemana-mana dengan teman tanpa sepengetahuannya. Takut saya nongkrong ke tempat lain,” timpal Alvin.
Padahal tim robot sudah dibatasi empat mahasiswa saja, untuk menghindari kerumunan banyak orang. Tim robot tak bebas juga masuk kampus. Terpaksa harus mengajukan permohonan akses masuk laboratorium kampus dulu. Akhirnya diberikan izin dengan pembatasan waktu pada siang hari. “Kami tak boleh mengerjakan robot sampai malam. Apalagi saat itu ada pemberlakuan jam malam di Kota Semarang,” tuturnya.
Tak hanya mendapatkan izin akses masuk kampus, Polines juga memberikan surat tugas resmi kepada keempat mahasiswa. Dengan surat tugas tersebut, ibunya Alvin luluh. Akhirnya Nurkhanah memberikan izin anaknya agar terlibat dengan tugas mulia tersebut. “Akhirnya saya diizinkan untuk bergabung dengan tim robot, setelah saya menunjukkan surat tugas ke ibu,” kata Alvin terharu.
Tak hanya mengkhawatirkan paparan Covid-19, sang ibu menginginkan anaknya yang kini semester akhir segera lulus. Nurkhanah meminta Alvin menyelesaikan tugas akhirnya (TA). Yakni, membuat Sistem Keamanan Rumah dengan Suara Pemilik Rumah. “Karena saya tingkat tiga, wajib menyelesaikan TA untuk kelulusan. Kendalanya kami dikejar deadline,” katanya.
Dengan menjadi tim robot, harus bisa membagi waktu antara mengerjakan TA dan robot. Biasanya pukul 07.00 sampai 09.00 mengerjakan TA. Setelah itu, sampai pukul 18.00 menyelesaikan pembuatan robot bersama tim. “Kendala kami soal waktu. Jadi kami harus disiplin antara mengerjakan TA dan robot. Alhamdulillah kami sudah bisa lulus ujian pada November 2020, dan Desember ini kami dijadwalkan wisuda. Kini tim robot dilanjutkan oleh tim baru,” kata Alvin yang dibenarnya Rofik.
Saat keempat mahasiswa ini mulai mengerjakan pembuatan robot. Selama masuk kampus, mereka diwajibkan menerapkan protokol kesehatan. Wajib memakai masker, memakai hand sanitizer, memakai sarung tangan, jaga kebersihan, melakukan jaga jarak, dan diberlakukan jam malam. “Pulang tidak boleh terlalu malam,” kata Alvin.
Polines tak serta merta bisa mengucurkan dana dalam pembuatan robot ini. “Robot pertama, tak ada anggaran khusus. Untuk riset, dari dana sendiri. Kami sebagai mahasiswa hanya sebagai pelaksana pembuat,” kata Rofik, anak pertama dari dua bersaudara ini.
Apalagi seluruh anggaran negara dilakukan refocusing, termasuk anggaran Polines. Anggaran dialihkan ke penanganan Covid-19. Sedangkan teknologi robot, mengikuti prinsip pasar. Ada uang, ada barang. Semakin canggih teknologi yang diinginkan, maka ada harga yang harus dibayarkan. “Tak ada dana. Tapi tekad kami sangat kuat,” kata Rofik yang didampingi juga oleh Muhammad Rayhan Rizaldi (Rizal), 20, dari jurusan Teknik Elektro/Teknik Elektronika yang bertugas di bagian elektronik dan Abbas Kiarostami Permana (Abas), 23, jurusan Teknik Elektro/Teknik Elektronika yang bertugas sebagai programer di tim robot.
Para dosen pendamping tak tinggal diam. Para dosen, yakni Bagus Yunanto, Dr Amin Suharjono ST MT, Bambang Supriyo BSEE M.Eng.Sc Ph.D, Dr Eni Dwi Wardihani ST MT, dan Wahyu Sulistiyo ST M.Kom, melakukan iuran. Bersyukur, akhirnya terkumpul dana Rp 20 juta. Meski Amin Suharjono yang menjabat Ketua Peneliti Tim Robot Polines, tetap mengupayakan dana dari kampus tetap cair. Hanya saja harus menunggu hingga Agustus 2020 baru turun menggantikan iuran para dosen. “Kami pada awalnya iuran sesuai kemampuan masing-masing,” kata Bagus.
Melalui dana tersebut, digunakan untuk membeli peralatan. Semua pembelian dilakukan melalui pemesanan secara online. Baik itu hardware maupun software robot. “Karena pandemi Covid-19, seluruh barang kebutuhan tak bisa dibeli langsung di toko. Tapi kami memenuhinya dengan melakukan pembelian secara online,” kata Bagus.
Dengan dana Rp 20 juta saja, sangat terbatas. Tentu sulit menyediakan prototipe RAMA dengan teknologi yang benar-benar super canggih. “Kalau teknologinya semakin bagus, butuh dana yang besar. Ini saja kami harus iuran dulu, untuk mendapatkan dana segar,” tuturnya.
Fungsi robot ini memang masih sederhana, untuk mengantarkan makanan dan obat ke tiap pasien. Meski sederhana, bisa menghemat penggunaan baju hazmat atau alat pelindung diri (APD). Sebab protapnya tenaga medis, tiap kali bertemu pasien Covid-19, harus memakai APD lengkap, setelah itu harus dicopot dan dibakar bajunya. “Dengan RAMA, minimal mengurangi penggunaan baju hazmat. Ini juga bagian dari menghemat anggaran,” kata Bagus.
Desain prototipe RAMA ini seperti rak dorong makanan yang ramping seperti di beberapa maskapai penerbangan. Desainnya simpel, namun bisa memuat banyak barang. Dengan medan uji coba awal adalah gedung magister Polines.
Bahan bodi atau rangka robot terbuat dari meterial plat stainles still ukuran 1 mm dan hollow diameter 2 sentimeter. Kemudian dilengkapi monitor, tablet komputer, dan kamera navigasi. Semua digerakkan dengan remote control yang menggunakan jaringan lokal atau router atau acces point yang dipasang di beberapa titik.
Ini sengaja tak menggunakan jaringan wifi. Sebab, kalau jaringan internet tersebut sedang terganggu atau sedang jelek kondisinya, biasanya komunikasi antara pasien dengan tenaga medis ikut terganggu. Bahkan, kadang suara sangat jelas, kadang tidak jelas. “Makanya kami menggunakan teknologi router yang dipasang di beberapa titik,” kata Bagus.
Namun media komunikasi dari ke dokter atau tenaga kesehatan yang masih memanfaatkan google duo, juga butuh disempurnakan. Karena jaringannya kerap tidak stabil. Pengiriman suara masih suka terlambat. “Masih banyak problem yang harus disempurnakan,” katanya.
Pembuatan robot ini sebenarnya kurang dari sebulan, mulai 5-25 Mei 2020.
Meskipun tim harus melakukan trial and error berkali-kali. Dari segi mekanik, kerap ada beberapa baut yang kurang kenceng. Bahkan, navigasi robot juga kerap kurang presisi, kurang bagus, karena ketidaksesuain medan. Termasuk jenis ban yang dipilih. Karena menggunakan ban jenis mekanum, kerap terjadi selip. Ini karena tekstur roda mekanum ini miring.
“Medan dan rodanya licin, karena bahan kurang cocok dengan medan. Roda mekanum yang dijalankan di lantai keramik, sangat berisik. Ini perlu perbaikan untuk RAMA berikutnya,” kata Alvin.
Meski teknologi ini sederhana, namun mendapatkan apresiasi dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Bahkan, pada saat itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jateng dan Dinkes Kota Semarang langsung memesannya untuk digunakan di lokasi isolasi pasien Covid-19.
“Saya merasa gugup, bahagia, dan bangga. Alhamdulillah, robot yang kami kerjakan bisa bermanfaat bagi orang lain. Bukan hanya untuk lomba-lomba saja. Kami berharap ke depan, robot bisa lebih baik. Diproduksi lebih banyak untuk meringankan beban petugas medis,” kata Alvin maupun Rofik.
Pihaknya masih mendampingi tim kedua, meski sudah lulus. “Kami harus menyampaikan kekurangan dan kelebihan RAMA pertama. Tapi versi kedua, insyaallah lebih maksimal, sudah lebih bagus. Keseluruhan pergerakan dan manuver buat robot sudah cukup baik,” kata Rofik.
Diakui Rofik, setelah dirinya membuat RAMA, ternyata Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya juga sudah membuat robot serupa. “Tapi riset dan pengembangan robot kami tak saling terkait. Ini riset yang berbeda,” katanya. (ida)