RADARSEMARANG.COM, Semarang – Memimpi indah menggarap taman wisata megah di Hutan Wisata Penggaron, Kabupaten Semarang sudah muncul sejak tahun 2010 di benak Prijo Handoko Rahardjo, pengusaha visioner kelahiran Semarang. Namun merasa gagal berkompromi dengan rumitnya birokrasi, dia menyerah.
Baru sekitar 2017, bagai diterpa angin segar, dia menyodorkan kembali gagasan mengembangkan Wanawisata Penggaron kepada para pemangku kebijakan. Gayung bersambut. Pemprov Jateng merespon dengan cepat. Selanjutnya bersinergi dengan Perum Perhutani yang disokong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Kementerian BUMN.
Sinergi terbangun dengan membentuk institusi yang mengawal operasional termasuk peraturan perundang-undangan sebagai payung hukumnya. Perum Perhutani melalui anak perusahaannya PT Palawi Risorsis dan Pemprov dengan BUMD-nya PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPJT) mendirikan perusahaan patungan untuk ikut mengelola wisata ini yaitu PT Penggaron Sarana Semesta (PSS).
Keseriusan Pemprov Jateng atas wisata ini ditunjukkan dengan memasukkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJPMD) 2018-2023. Melalui jalan berliku dan gagal dua kali lelang, PSS berhasil mendapatkan investor. Akhirnya momen penting pun terjadi.
Pada 12 Maret 2020, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara pihak terkait yaitu Dirut Perum Perhutani Wahyu Kuncoro, Dirut PSS Lies Bahunta, dan secara paralel juga diteken perjanjian antara PT PSS dengan Komisaris Utama PT Taman Wisata Jateng (PT TWJ) Prijo Handoko Rahardjo selaku investor.
Semula wisata tersebut dinamakan Jateng Park, namun agar ada unsur pembeda berganti menjadi Jateng Valley, menyesuaikan letaknya di lembah dan dikelilingi rimbunnya rimba belantara.
”Satu dekade saya menantikan mimpi ini. Sebagai orang Semarang, saya ingin memberikan kontribusi kepada Jateng agar punya wisata ikonik, dibanggakan, futuristik tapi berakar pada alam dan budaya Jawa,” kata Handoko yang menyebut Jateng Valley bakal menjadi wisata terbaik di Asia Tenggara dan lima besar di dunia.
Sesuai MoU, nilai investasi pada wisata seluas 371,88 hektare ini sebesar Rp 1 triliun secara bertahap, selambatnya dalam 10 tahun. PT TWJ sendiri akan mengembangkan Jateng Valley dengan konsesi 35 tahun.
Namun mengacu Permen LHK Nomor P.31 tahun 2016, tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Produksi, dari objek kerjasama lahan seluas 371,88 hektare, yang dapat dibangun sebagai sarana wisata hanya 10 persen (37,1 hektere).
Dirut PT PSS Lies Bahunta mengakui, perjuangan untuk bersinergi di balik pembangunan Jateng Valley memang penuh liku. Karena semua pihak menganut asas kehati-hatian, khususnya menyangkut peraturan perundang-undangan.
”Perhutani misalnya, menyangkut soal tanggung jawab terhadap pengelolaan hutan negara. Pemprov Jateng terkait manfaat dan dampak sosial ekonomi masyarakat serta investor dari sisi bisnisnya,” kata Sarjana S2 Kehutanan lulusan Georg August Universitat of Goettingen Jerman itu.
Lies melihat Jateng Valley nanti akan menjadi Black Forest-nya Indonesia. Black Forest adalah wisata di hutan belantara yang gelap, tapi hijau dan asri yang terletak di Freiburg, Jerman.
Berdasarkan master plan yang dirancang arsitek ITB Budi Faisal, Jateng Valley dibagi menjadi tiga kategori wahana. Pertama, Botanical Sanctuary yang meliputi Botanical Garden, Eco Safari, Canopy Walk, Riverside Walk dan Eco Lake. Kedua, Sustainable Leisure yang terdiri atas Eco Theme Park, Water Park, Glamping, Hotel & Resort, Farmland-Cimory Land, Bike Land, Treehouse Cafe, Eco Housing dan MICE Park. Ketiga, Futuristic Space yang dilengkapi Discovery Park, Noah’s Ark, Water Fountin Show, Lighting Forest, Java Educultural Park, Museum of Art, dan Museum of President.
Direksi PT TWJ, Wilson Pesik pun punya obsesi sama dengan Handoko. Saatnya Jateng punya taman wisata masterpiece (mahakarya) model baru berbasis IT dengan manajemen dan sistem serba digital. Jateng Valley nantinya benar-benar fresh, bukan imitasi taman-taman wisata mancanegara, sehingga kesannya ‘KW’. Jika mengadopsi, pasti bukan pada desainnya, namun sistem dan menajemen pengelolaannya.
”Apa sih yang dicari setiap wisatawan? Experience itu nomor satu. Dia harus punya pengalaman manis saat singgah. Makanya, bukan hanya wahananya menarik, tapi soal parkir dan ticketing itu penting. Misalnya, harus bisa mendesain manajemen parkir yang bisa mengatur 10.000 mobil dalam sehari tanpa menimbulkan chaos,” ujar sosok di balik sukses brand handuk Terry Palmer itu.
Kepala Bappeda Jateng Prasetyo Aribowo menyatakan, gagasan awal Jateng Valley adalah ikhtiar menciptakan man made resources (wisata buatan manusia) yang berkelas dunia agar mampu menjaring turis asing berlama-lama di Jateng. Selama ini, tiap tahun ada 20-25 kapal pesiar dari berbagai negara yang bersandar di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Sayangnya, dari seluruh penumpang kapal, hanya 20 persen yang turun berwisata di Jateng, sisanya tetap tinggal di kapal. Jateng Valley diharapkan menjadi oase bagi pelancong yang haus akan wisata futuristik namun berwawasan lingkungan dan konservasi alam (ecotourism).
”Sesuai tagline-nya When Nature Meets Dream, kami akan memberikan kepuasan kepada pelancong khususnya mimpi-mimpi mereka soal tersedianya wisata yang modern, kekinian, tapi selaras dengan alam yang hijau dan berkultur Jawa,” kata mantan kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng itu.
Saat groundbreaking, Sabtu (15/8/2020) lalu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menyebutkan bahwa pembangunan Jateng Valley menggunakan model pentahelix, kolaborasi antara birokrasi, pengusaha, akademisi dan masyarakat. “Aspek lingkungan harus diprioritaskan dalam pengerjaan wisata ini, sehingga setiap orang datang berkunjung dapat banyak mengambil pelajaran, berbagi pengalaman yang eco friendly,” kata Ganjar.
Sedangkan Ketua DPRD Jateng Bambang Kusriyanto berharap, keberadaan Jateng Valley bisa memberikan dampak ikutan bagi masyarakat di sekitarnya. Terkait itu, Handoko siap berjuang mendapatkan Green Certificate untuk Jateng Valley, karena 2/3 turis asing lebih suka mengunjungi area wisata yang sudah dilengkapi Green Certificate. (ida/bis/bas)