RADARSEMARANG.COM, Sudah tiga bulan lamanya, atlet PON Jateng menjalani latihan mandiri di rumah. Sebagian cabang olahraga (cabor) tidak menemukan kendala. Namun sebagian lain mendapat banyak tantangan, termasuk Wushu Sanda Jateng. Berikut bincang-bincang wartawan RADARSEMARANG.COM Dewi Akmalah dengan Pelatih Tim Wushu Sanda Jateng Hermansyah Monginsidi.
Bagaimana program latihan tim wushu Jateng untuk PON selama pandemi Covid-19?
Sama dengan cabor lain. Kami sudah memulangkan para atlet ke daerah masing-masing. Saat ini kesepuluh atlet Wushu Sanda menjalani program latihan mandiri dari rumah masing-masing.
Sejauhmana efektivitas latihan mandiri tersebut?
Tidak bisa disamakan. Misal untuk tim wushu taolu (peragaan jurus), mereka tidak ada masalah. Karena bisa mempraktikan jurus dari rumah. Nah beda dengan wushu sanda (tarung). Itu jauh lebih susah. Soalnya mereka harus latihan terus menerus untuk bisa tetap menjaga performa. Selain itu, kami memantaunya juga harus ketat. Lepas sedikit, progamnya bisa berantakan. Saya kira tidak wushu sanda saja. Hampir semua cabor tarung seperti karate nomor kumite, tinju, taekwondo nomor kyurogi pasti mengalami hal yang sama.
Banyak kendala bagi tim wushu sanda?
Pertama, soal sparring atau latih tanding. Sudah bisa dipastikan di rumah mereka tidak punya lawan untuk tanding. Kedua, soal komunikasi. Ada beberapa atlet, kami tidak bisa komunikasi karena rumahnya tidak ada sinyal. Ketiga, soal berat badan. Jika sampai latihan mandiri berlangsung sampai September, saya yakin para atlet pasti banyak yang tidak bisa mengkontrol berat badan mereka. Akhirnya tidak ideal untuk seorang atlet.
Seberapa penting arti komunikasi untuk keberhasilan latihan mandiri?
Tentu sangat penting. Tidak ada sinyal, mereka tidak dapat mengirim video latihan. Jika tidak mengirim video, kami tidak dapat memantau. Lantas bagaimana pelatih dapat memberi instruksi jika tidak bisa memantau dan mengetahui kondisi atlet tersebut?
Siapa saja atlet yang mengalami kendala komunikasi?
Ada Yusuf Widiarto. Dia tinggal di Lereng Merbabu. Ada Anwar Hidayat. Dia tinggal di daerah Demak yang pelosok. Begitu pula Bayu Peni dan Puja Riaya. Mereka tinggal di Purwodadi dekat hutan jati yang pelosok. Nah mereka semua itu susah mendapat sinyal. Alhasil tidak dapat mengirimkan video tiap hari. Paling dua kali dalam seminggu. Tentu itu tidak efektif untuk program latihan. Karena idealnya tiap hari harus selalu mendengar laporan progres hasil latihan mereka.
Apa yang dapat dilakukan dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut?
Saat ini tidak ada yang bisa kita lakukan. Yang ada hanya bisa menunggu kondisi membaik agar bisa sentralisasi lagi. Jadi tidak perlu kirim video lagi. Kalaupun tidak, saya harap KONI dapat memikirkan solusi lain selain latihan mandiri. Misal sentralisasi, namun dengan jumlah orang terbatas. Seperti dari 10 anggota tim dibagi dua menjadi lima-lima. Jadi tetap membatasi kumpul banyak orang. Namun tetap bisa sentalisasi, meskipun jumlah personelnya sedikit. (*/ida)