RADARSEMARANG.COM, LAMA tak terdengar gaungnya, demonstrasi mahasiswa memprotes pengesahan Undang-Undang KPK kembali mendominasi perbincangan di ruang publik dalam beberapa pekan terakhir. Meskipun Pelantikan Presiden sudah usai, namun aksi mahasiswa tetap bergerak dengan satu tujuan, keluarkan Perpu KPK. Aksi ini kemudian tidak hanya diikuti mahasiswa saja, tapi bergulir ke anak usia sekolah (STM) dan kalangan buruh.
Merunut awal masifnya gerakan, pengesahan Undang Undang KPK sebenarnya hanya menjadi pintu awal serangkaian tuntutan lainnya, yang bersumber atas rasa ketidakadilan. Keputusan-keputusan politik yang muncul, dianggap hanya corong suara elite politik. Sementara suara-suara rakyat terakumulasi menjadi suatu gerakan massa.
Yang menjadi tanda tanya sejak awal, ada apa dibalik pengesahan Undang-Undang KPK yang dilakukan secara tiba-tiba? Bagaimana mungkin para elite politik yang tajam terbelah ketika kontestasi Pemilu 2019 beberapa waktu lalu, mendadak sepakat berkoalisi untuk merevisi Undang Undang KPK. Catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut sedikitnya terdapat 23 anggota DPR periode 2014-2019 yang tersangkut kasus korupsi dan menyandang status tersangka. Bahkan lima orang Ketua Umum Partai Politik juga terseret menjadi tersangka, dan beberapa di antaranya meringkuk di balik penjara. Sehingga, hipotesa para penggiat antikorupsi, Anggota dewanlah yang berkepentingan mengamputasi “kesaktian” KPK tampaknya sulit ditampik.
Ketika suara-suara mahasiswa Indonesia menggema, suara aksi massa lainnya juga tengah berlangsung di Hong Kong. Sejak Juni 2019, jutaan warga Hong Kong, terutama mahasiswa turun ke jalan meminta pembatalan Rancangan Undang Undang (RUU) Ekstradisi. RUU ini membuka peluang proses ekstradisi bagi pelaku kejahatan ke China daratan. Hong Kong sendiri memang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan tiga wilayah, yakni China Daratan, Makau, dan Taiwan. Kekhawatiran timbul ketika rakyat tidak percaya atas sistem peradilan di China. RUU Ekstradisi dianggap menjadi akal-akalan penguasa untuk membungkam suara aktivis pro demokrasi di Hong kong. Gerakan sosial pun meluas, bahkan mahasiswa dan masyarakat sempat menduduki Bandara Udara Internasional Hong Kong, dan memukul perekonomian Hong Kong.
Secara umum, gerakan sosial dilakukan untuk mendesak otoritas mengakomodasi tuntutan rakyat. Gerakan ini biasanya lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sewenang-wenang terhadap masyarakat. Sidney Tarrow (2005) mendefinisikan gerakan sosial merupakan politik perlawanan yang terjadi, ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh, menggalang kekuatan untuk melawan para elite, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Gerakan sosial seringkali diterapkan sebagai konsep kunci dalam memahami fenomena protes masyarakat terhadap struktur struktur sosial seperti pemerintah, lembaga keagamaan sentral, ataupun perusahaan besar, termasuk ke dalamnya protes mahasiswa. Konsep gerakan sosial juga merujuk pada upaya perubahan sosial (juga politik) yang disponsori oleh kekuatan masyarakat di luar struktur politik formal. Dari perspektif perubahan ini pula, gerakan sosial kerap dipandang sebagai counterpart dari sistem dan struktur masyarakat yang menjadi mainstream.
BERKACA pada gerakan massa di Indonesia dan Hongkong, gerakan sosial yang terjadi menuntut adanya perubahan atas dominasi elite. Setidaknya ada dua persamaan antara dua gerakan sosial, di Indonesia dan Hongkong. Yang pertama, massa bergerak berawal dari upaya menolak kesewenangan elite politik tertentu. Di Indonesia, pengesahan Undang Undang KPK dianggap hanya keputusan kelompok elite tertentu dan mengabaikan kepentingan rakyat. Tawar menawar kepentingan hanya terjadi di tataran pemegang kekuasaan, dan rakyat hanya dijadikan penonton di luar panggung. Sementara di Hongkong, kesewenangan itu ditampilkan dalam RUU Ekstradisi. RUU ini yang kemudian memberikan ruang ekstradisi bagi para pelaku kejahatan untuk diadili di China, yang kemudian dikhawatirkan membelenggu kebebasan berpendapat.
Dalam gerakan sosial, ada tujuan utama bersama yang disuarakan, demi adanya perubahan. Namun perubahan itu bisa dimaknai, mempertahankan status quo dengan menolak perubahan yang dilakukan, atau menolak status quo dengan menuntut perubahan.
Di Indonesia, massa menuntut UU KPK yang lama kembali diberlakukan, sementara di Hongkong menuntut RUU Ekstradisi dibatalkan. Kedua kelompok massa di Indonesia dan Hong Kong, setidaknya ingin mempertahankan status quo, kondisi dimana RUU belum dibahas di parlemen.
Kedua, upaya pelibatan sosial media untuk mengumpulkan simpati, menyuarakan aspirasi, dan berujung pada pengumpulan massa gerakan. Transformasi gerakan sosial melalui fasilitas media sosial bukanlah hal yang baru di berbagai negara. Di Indonesia, tagar mahasiswa bergerak, tagar Gejayan memanggil, tagar reformasi dikorupsi menjadi trending topic di lini masa twitter dan sosial media lainnya, saat demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota di Indonesia. Di Hong Kong, tagar Hong Kong protest tidak hanya menjadi cara untuk mengumpulkan massa, tetapi juga menjadi saluran bagi massa menceritakan bagaimana represifnya aparat dalam menangani aksi massa melalui foto dan video yang disebar pengunjuk rasa.
Gerakan sosial sifatnya menuntut perubahan institusi, pejabat atau kebijakan akan berakhir dengan terpenuhi permintaan gerakan sosial. Sebaliknya jika gerakan sosial bernafaskan ideologi, maka tak terbatas pada perubahan institusional tapi lebih jauh dari itu yakni perubahan yang mendasar berupa perbaikan dalam pemikiran dan kebijakan dasar pemerintah (Wahid, 2006).
Berdasarkan definisi ini, tuntutan perubahan mendasar masih dinanti warga Hong Kong. Meskipun Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam sudah menarik RUU Ekstradisi, namun tuntutan lainnya belum juga terpenuhi. Menuntut hak berdemokrasi secara penuh, penyelidikan independen atas kekerasan yang dituding terjadi dalam penanganan demonstrasi, hanya kepingan kecil dalam konstruksi tujuan lebih besar, mengembalikan kebebasan warga Hong kong seutuhnya.
Sementara di Indonesia, tuntutan utama gerakan mahasiswa agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpu KPK tampaknya belum bersambut dari Istana. Dalam demonstrasi terakhir yang berlangsung 28 Oktober 2019 kemarin, massa kembali mendesak Presiden merespon tuntutan mereka. Bahkan ancaman, pengerahan massa lebih besar akan dilakukan jika Perpu KPK tak kunjung diterbitkan. Gerakan sosial yang berakar dari ketidakadilan, sudah selayaknya dijawab dengan menghadirkan keadilan di tengah masyarakat. Dan kini, masyarakat masih menanti, keadilan dari para petinggi pemegang kekuasaan di negeri ini, apakah mereka masih memiliki hati nurani? (*/ida)
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia