RADARSEMARANG.COM, SEMARANG-Kendati pemerintah mewajibkan 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif, namun dari 120 anggota DPRD Jateng yang terpilih hanya 19,1 persennya perempuan. Hasil itu belum setara dengan jumlah penduduk perempuan yang 50 persen lebih ketimbang laki-laki yang hanya 49 persen.
Bagi Bendahara Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jateng, RR Maria Trimangesti SE, itulah hasil fair dalam pertarungan pemilihan anggota legislatif dalam Pemilu 2019 lalu. “Bahkan persentase anggota dewan perempuan ini menurun jumlahnya. Periode 2014-2019 dari 100 kursi anggota dewan, ada 21 perempuan atau 21 persen. Namun peride 2019-2024 dari 120 kursi anggota dewan, hanya 23 perempuan atau 19,1 persen. Sebanyak 10 perempuan di antaranya dari Fraksi PDI Perjuangan,” tutur anggota Komisi C DPRD Jateng ini.

Menurutnya, perempuan sudah diberikan ruang. Jika hanya sedikit perempuan yang terjaring menduduki kursi dewan, itu memang orang-orang pilihan. “Menjadi anggota legislatif, itu bagian dari perjuangan seseorang dalam membawa misi, baik laki-laki maupun perempuan,” kata ketua Bidang Ekonomi Kreatif DPD PDI Perjuangan Jateng.
Bagi yang terpilih, jelas anggota dewan Provinsi Jateng tiga periode (2009-2014, 2014-2019 dan 2019-2024) ini, perempuan tidak hanya dituntut mempersiapkan diri, tapi harus bisa membawa diri dan terus berbenah. Perempuan di manapun tempatnya, harus bisa berperan. “Sistem saat ini, sudah sangat terbuka. Perempuan harus mendapatkan pendidikan politik yang cukup agar bisa memiliki peluang yang sama dengan laki-laki,” kata mantan anggota DPRD Kota Semarang periode 2004-2009.
Demikian halnya dengan anggota DPRD Jateng dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPP), Nurul Hidayah, yang menganggap wajar. Karena memang, tidak semua perempuan menitipkan suaranya kepada perempuan. “Tidak bisa disalahkan, itu hak rakyat untuk memilih,” kata Ketua DPC PPP Kabupaten Purbalingga ini.
Kendati begitu, kata Nurul, kebanyakan kaum perempuan kurang memiliki jiwa petarung sebagaimana kaum laki-laki. Adanya syarat 30 persen keterwakilan calon legislatif dari kalangan perempuan, hanya sekedar formalitas untuk memenuhi syarat undang-undang. “Jadi, pemerintah telah memberikan peluang, namun tak nampak hasilnya. Karena belum memiliki jiwa petarung yang sama dengan kaum laki-laki,” tandas pemilik RS Keluarga di Purbalingga ini.
Nurul yang menjadi anggota legislatif sejak orde baru tahun 1992 ini, sudah merasakan posisi kaum perempuan di lingkungan legislatif, mulai dari pemilihan sesuai nomor urut, proporsional murni hingga keterwakilan perempuan 30 persen. Namun semuanya kembali ke perempuan sendiri. (ida)