30 C
Semarang
Sunday, 12 October 2025

Naskah Karya Guru Kelas Lebih Humanis Bagi Peserta Didik

Artikel Lain

Oleh: Idha Nurhamidah

RADARSEMARANG.COM – “Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” Begitulah teguran keras Islam kepada mereka yang berbicara tidak sewajarnya, bahkan condong kepada kesombongan, sebagaimana tertuang dalam hadis sahih Bukhari yang diriwayatkan oleh Sayidina Ali r.a.

Selaras dengan pesan Rasulullah tersebut, para bijak juga menasehati agar pendidik menggunakan bahasa pengantar yang bisa dipahami oleh peserta didiknya. Seperti yang disampaikan oleh Romi S.W., dosen Universitas Bangka Blitung ‘Wahai Dosen, Berbicalah dengan Bahasa Manusia!’ Di samping itu, bentuk evaluasi pembelajaran (learning assessment) serta media pembelajaran yang digunakan hendaknya tepat bagi objek didik.

Guru profesional hendaknya menyusun buku ajarnya sendiri. Hal ini dimaksudkan agar materi ajar bisa dipahami oleh peserta didik dengan baik. Dengan menulis buku ajarnya sendiri, seorang guru bisa leluasa menyajikan contoh implementasi dan studi kasus untuk dipecahkan. Guru bahasa Jawa, misalnya, bisa leluasa memilih naskah bacaan yang bisa difahami oleh siswa, bahkan bisa menyajikan hasil karya sendiri. Ibarat makanan, seorang anak akan sangat lahap menikmati makanan jika merupakan buatan tangan ibunya sendiri.

Apalagi jika naskah karya gurunya tersebut telah diterbitkan pada media tertentu baik cetak maupun online, sebagaimana yang disampaikan Ucik Fuadhiyah dalam sebuah workshop bertajuk ’Peningkatan Keterampilan Menyusun Naskah Berbasis Karya Sastra Jawa bagi Guru-guru MGMP Bahasa Jawa pada Sabtu (10/12) lalu. Akan ada kebanggaan tersendiri baik pada diri guru maupun para siswa. Dampaknya, siswa menjadi lebih bersemangat membaca berulang-ulang, berusaha memahaminya, dan menjawab butir-butir soal terkait naskah tersebut. Ada juga siswa yang memamerkannya pada siswa di tempat lain. “Penulis ini ‘Idha Nurhamidah’, ini guruku lho…”.

Demikian juga dalam proses evaluasi. Naskah soal yang disusun oleh guru sendiri cenderung lebih bisa dipahami dan telah disesuaikan dengan karakter siswa. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan perbedaan butir-butir soal untuk masing-masing wilayah. Sebagaimana diungkapkan oleh anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Djemari Mardapi bahwa “hanya 25 persen dari total jumlah soal UN yang dibuat BSNP dan berlaku secara nasional. Sisanya dibuat oleh tim di masing-masing provinsi.”

Namun pada kenyataannya, masih sedikit sekali guru memiliki kompetensi untuk menyusun buku ajar, di samping keterbatasan waktu dan kurangnya motivasi. Pemerintah hendaknya turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menyelenggarakan pelatihan, pemberian insentif bagi penulis, hingga fasilitas pendukung yang diperlukan. Fasilitas dimaksud bisa berupa berbagai perangkat lunak yang terkait maupun perangkat keras.

Sebagaimana workshop series yang baru-baru ini dilaksanakan, sebagai bagian dari agenda program Pengabdian kepada Masyarakat terintegrasi MBKM berbasis kinerja IKU tahun 2022 oleh Dirjen Dikti Ristek dan Universitas Islam Sultan Agung. Agenda yang digawangi oleh dosen-dosen Fakultas Bahasa dan Ilmu Komunikasi ini diselenggarakan dalam dua hari, 9 -10 Desember 2022 lalu, dengan mengundang dua narasumber, yaitu Ninok Hariyani, S.I.Kom., M.I.Kom. dan Ucik Fuadhiyah, S.Pd., M.Pd.

Dalam workshop tersebut Ucik menyampaikan bahwa yang diperlukan oleh seorang guru untuk piawai adalah dengan terus menulis dan membekali diri dengan pengetahuan tentang kepenulisan. Dosen UNNES yang sekaligus merupakan penulis geguritan ini lalu bertutur tentang hakekat geguritan, berikut unsur-unsur dan perangkat keindahan yang bisa digunakan. (*/bas)

Dosen Sastra Inggris Unissula, Penerima Program Pengabdian kepada Masyarakat Terintegrasi MBKM Berbasis Kinerja IKU Tahun 2022


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya