33 C
Semarang
Saturday, 14 June 2025

Campur Tangan Stereotip Terhadap Pemilihan Jurusan Sekolah

Oleh : Khailla Septi Anggraini

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, DUNIA pendidikan Indonesia masih saja dipenuhi stereotip yang menyatakan bahwa siswa jurusan IPA lebih pintar dibanding siswa jurusan IPS atau Bahasa. Lebih parahnya, siswa jurusan IPS dan Bahasa dianggap “buangan” dari jurusan IPA. Seolah-olah derajat jurusan IPA lebih tinggi ketimbang dua jurusan itu. Konsepsi keliru itu telah mengakar kuat di tengah masyarakat. Belum lagi masalah gengsi yang harus dipertahankan. Pasalnya, bidang karir di jurusan IPA konon lebih menjanjikan dibanding karir di bidang IPS atau Bahasa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa stereotip ini justru berdampak pada minat siswa terhadap jurusan-jurusan itu. Banyak siswa yang ramai-ramai masuk jurusan IPA hanya karena hal ini. Lihat saja betapa jomplangnya jumlah kelas untuk siswa IPA, IPS, dan Bahasa. Biasanya, kuota untuk jurusan IPS hanya tersedia setengah dari kuota untuk jurusan IPA. Lalu, bagaimana dengan jurusan bahasa? Nasibnya jauh lebih mengenaskan. Tidak semua SMA atau MA menyediakan jurusan Bahasa.

Situasi pendidikan yang seperti ini sangat mengganggu jalannya proses mencari ilmu. Para siswa SMA pasti tidak asing dengan frasa “salah jurusan”. Banyak dari siswa jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa yang merasa tidak cocok dengan cabang ilmu yang mereka pelajari. Di beberapa kasus, ada siswa yang memilih jurusan IPA hanya karena gengsi. Padahal, dia tidak memiliki ketertarikan di bidang IPA.

Akibatnya, nilai yang mereka peroleh tidak maksimal. Lain lagi dengan siswa yang terpaksa masuk ke jurusan IPS atau Bahasa hanya karena nilai yang tidak mencukupi untuk diterima di jurusan IPA. Dampaknya, mereka merasa gagal atau lebih parahnya merasa terbuang.

Sebenarnya, seberapa jauhkah dampak stereotip ini terhadap jalannya pendidikan? Baik diakui atau tidak, pandangan keliru mengenai jurusan IPA, IPS, dan Bahasa juga membawa label lain bagi siswa di masing-masing jurusan. Siswa jurusan IPA erat dengan anggapan pintar, rajin, patuh, dan label-label baik lainnya. Sedangkan siswa jurusan IPS atau Bahasa kerap dikaitkan dengan asumsi nakal, tidak sepintar siswa IPA, dan segala label buruk lainnya.

Pelabelan ini membawa dampak yang cukup besar bagi berlangsungnya proses pendidikan yang sehat. Siswa jurusan IPA akan diberi ekspektasi tinggi yang mungkin di luar kemampuan mereka. Sebaliknya, siswa jurusan IPS atau Bahasa akan sering direndahkan, dianggap gagal, dan diberi standar rendah. Akibatnya, banyak dari siswa IPS atau Bahasa yang merasa tidak perlu belajar lebih giat. Karena, mau seberapa keras mereka belajar, label “siswa pintar” akan selalu melekat pada siswa IPA.

Lalu, bagaimana cara menghentikan konsepsi yang keliru ini? Tentu saja dengan pendidikan. Mengatasi masalah pendidikan menggunakan pendidikan. Masyarakat perlu diberikan sosialisasi bahwa setiap jurusan sekolah tidak bisa dibanding-bandingkan begitu saja. Dimulai dari pemberian informasi yang seluas-luasnya tentang prospek kerja setiap jurusan. Jika masyarakat paham mengenai esensi dari masing-masing jurusan, lama-kelamaan akan terbentuk kesadaran bahwa melakukan labeling terhadap jurusan sekolah merupakan hal yang tidak dibenarkan.

Selain itu, dilansir dari TEMPO.CO (2022), mulai tahun ajaran 2022, pemerintah akan menerapkan kurikulum prototipe bersamaan dengan kurikulum darurat. Kurikulum baru ini memungkinkan siswa lebih merdeka. Sebab, kotak jurusan bakal dihapuskan di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan murid bebas memilih mata pelajaran yang diminati. Para siswa dibebaskan untuk memilih kombinasi mata pelajaran yang mereka inginkan dan mendukung cita-cita mereka. Diharapkan dengan adanya kurikulum ini dapat menekan angka salah jurusan di jenjang SMA, maupun perguruan tinggi.

Idealnya, setiap disiplin ilmu pasti mempunyai ranahnya masing-masing. Bukan hal yang patut apabila masyarakat membanding-bandingkan suatu jurusan dengan jurusan lain. Maka dari itu, stereotip terhadap jurusan sekolah harus segera dihentikan. Dalam mengatasi hal ini, dibutuhkan waktu yang sangat lama dan kontribusi dari banyak masyarakat. Namun, jika tidak dimulai dari sekarang, maka jalannya pendidikan di Indonesia akan terus terganggu. (p8/ida)

Siswi SMA Negeri 8 Purworejo


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya