RADARSEMARANG.COM, PASCALIBUR Lebaran kasus aktif Covid-19 kembali meningkat, kini angka positif Covid-19 sudah lebih dari 100.000 kasus. Kenaikan angka positif Covid-19 dikarenakan masih banyaknya masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan. Pemerintah pun kembali memperketat pengawasan terhadap ketertiban masyarakat agar patuh dan tertib menjalankan protokol kesehatan.
Selain harus menertibkan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, yang menjadi persoalan sulit dihindarkan adalah kerumunan. Kerumunan saat ini yang menjadi momok penyebab utama penyebaran virus Covid-19. Dalam peraturan perundang-undangan terkait pelanggaran protokol kesehatan, kerumunan di masa pandemi Covid-19 ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi ataupun tindak pidana.
Kendati begitu, pada hakekatnya hukum pidana sebagai ultimum remidium. Artinya, hukum pidana hendaknya sebagai upaya terakhir dalam menangani persoalan penegakan hukum. Sebab, tidak setiap persoalan kehidupan manusia harus diselesaikan dengan hukum pidana. Prinsip inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh para aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat). Terlebih dalam menyelesaikan persoalan kehidupan manusia khususnya terkait ketertiban masyarakat.
Paradigma Hukum Progresif Pada tahun 2002, Prof Dr Satjipto Rahardjo memiliki gagasan tentang Hukum Progresif. Gagasan tersebut lahir dari keprihatinannya terhadap keterpurukan hukum dan ketidakpuasan publik yang makin meluas atas kinerja hukum. Paradigma hukum progresif ini pun mampu menggugah kesadaran semua pihak, bahwa hukum itu harusnya bersifat dinamis, dapat berubah mengikuti dinamika kehidupan manusia, sehingga sanggup menciptakan keharmonisan, kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat. Sudah seharusnya hukum itu untuk manusia, bukan manusia yang seolah-olah terbelenggu oleh hukum.
Paradigma hukum progresif yang digagas sang begawan hukum Prof Dr Satjipto Rahardjo menjadi gagasan yang fenomenal. Terutama bagi aparatur penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim dan pengacara, agar tidak terbelenggu dengan aturan hukum yang ada, yang kaku, dalam penegakan hukum. Pada dasarnya penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak, untuk menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memulai nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata.
Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Satjipto Rahardjo, 2009: vii).
Melihat persoalan tersebut di atas, jika aparat penegak hukum mampu melihat dan menelaah dengan kacamata hukum progresif, akan ada upaya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan personal yang lebih mengedepankan penyelesaian di luar pengadilan. Lebih mengutamakan fungsi hukum sebagai sarana edukasi masyarakat.
Karena fenomena pandemi Covid-19 bukanlah suatu hal yang disebabkan oleh perbuatan jahat manusia, merupakan bencana non alam yang bisa menimpa siapa saja dan kapan saja tanpa dikehendaki oleh manusia. Lantas, apakah persoalan kerumunan yang kemudian mengancam terjadinya penyebaran Covid-19 menjadi suatu hal yang jahat secara moral dan prinsip umum masyarakat beradab?
Dalam konsep hukum pidana mengenal istilah mala in se dan mala prohibita. Perbedaan keduanya pada konsep perbuatannya. Mala in se merupakan perbuatan yang tanpa diatur undang-undang secara wajar, moral dan prinsip umum dalam masyarakat, sudah mencerminkan perbuatan yang jahat. Sedangkan mala prohibita mempunyai konsep bahwa perbuatan itu dikatakan jahat, karena telah diatur sedemikian rupa dalam undang-undang, dan dinyatakan suatu kejahatan oleh undang-undang.
Tentu saja, peristiwa hukum yang menimpa Moh Rizieq Shihab yang berkaitan dengan pelanggaran protokol kesehatan berupa kerumunan di Petamburan dan Megamendung menjadi pertanyaan besar. Mengapa pelanggaran yang demikian, dapat dikenakan sanksi pidana? Padahal Moh Rizieq Shihab sebelumnya telah melaksanakan sanksi administrasi dengan membayar denda? Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi para pembuat undang-undang agar ke depan lebih berhati-hati dalam merumuskan sanksi pidana. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan tersebut tidak dipergunakan dengan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum untuk menghadapi persoalan publik yang serupa.
Sudah saatnya para penegak hukum, terutama aparat penegak hukum, memiliki pandangan yang progresif dalam menghadapi setiap persoalan hukum. Dengan begitu, tujuan dari penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana yang dicita-citakan peraturan perundang-undangan tersebut dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. (*/ida)
Advokat dan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (Undip)