RADARSEMARANG.COM, Saat ini dunia digegerkan oleh wabah virus korona atau Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah kebijakan untuk memutus rantai penularan Covid-19. Kebijakan utamanya adalah memprioritaskan kesehatan dan keselamatan rakyat. Bekerja, beribadah dan belajar dari rumah.
Krisis ekonomi juga melanda Indonesia selama pandemi Covid-19, negeri ini mengalami resesi ekonomi pada kuartal ketiga 2020. Jumlah penduduk miskin pun bertambah menjadi 26,4 juta orang atau setara 9,8 persen dari populasi pada Maret 2020.
UNESCO menyebutkan pandemi Covid-19 mengancam 577.305.660 pelajar dari pendidikan pra-sekolah dasar hingga menengah atas dan 86.034.287 pelajar dari pendidikan tinggi di seluruh dunia. Seperti kebijakan yang diambil berbagai negara yang terdampak penyakit Covid-19, Indonesia meliburkan seluruh aktivitas pendidikan.
Hal tersebut membuat pemerintah dan lembaga terkait menghadirkan alternatif proses pendidikan bagi peserta didik dengan belajar mengajar jarak jauh atau belajar online atau belajar dari rumah dengan pendampingan orang tua.
Hampir 69 juta siswa kehilangan akses pendidikan dan pembelajaran saat pagebluk. Namun di sisi lain, banyak kelompok siswa dari keluarga mapan lebih mudah belajar jarak jauh. Ini implikasi dari ketimpangan tersebut. Dampak dari Covid-19 dalam bidang pendidikan adalah adanya putus sekolah akibat terlalu lamanya para siswa di rumah terutama siswa perempuan yang mengakibatkan putus sekolah dan mengambil tindakan dengan pernikahan dini.
Ekonomi yang memburuk selama pandemi Covid-19 juga turut mendorong pernikahan dini. United Nations Population Fund (UNFPA) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam laporan berjudul Adapting to Covid-19: Pivoting The UNFPA-UNICEF Global Programme to End Chiled Marriage to Respond to The Pandemic memprediksi, empat juta perkawinan anak perempuan terjadi dalam dua tahun ke depan di dunia karena krisis ekonomi. Lalu, sekitar 13 juta pernikahan dini akan terjadi dalam rentang waktu 2020-2030 di dunia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, 3,06 persen pemuda Indonesia yang kawin pertama di bawah usia 15 tahun berasal dari 40 persen kelompok pengeluaran rumah tangga terbawah pada 2020.
Sedangkan, hanya 1,85 persen dari 40 persen kelompok pengeluaran menengah dan 0,91 persen dari 20 persen kelompok ekonomi teratas. Hal serupa terjadi pada pemuda yang menikah pertama di usia 16-18 tahun. Mayoritas (25,79%) berasal dari 40% kelompok ekonomi terbawah. Sebaliknya, hanya 9,27 persen yang berasal dari 20 persen kelompok ekonomi teratas (Infografik: Perkawinan Anak di Indonesia Mengkhawatirkan).
“Fenomena tersebut tidak lepas dari perspektif keluarga dengan status ekonomi rendah tidak mampu memenuhi biaya pendidikan dan cenderung melihat anak perempuan sebagai beban ekonomi keluarga. Solusinya adalah menikah sedini mungkin,”tulis BPS dalam laporannya mengutip International Center for Research on Women.
Perempuan memang lebih cenderung menikah dini dibandingkan laki-laki di Indonesia. BPS Mencatat 3,22% perempuan menikah di bawah usia 15 tahun pada 2020. Sedangkan, hanya 0,34% laki-laki yang menikah di usia tersebut. Lalu, 27,35% perempuan menikah di usia 16-18 tahun. Sedangkan, hanya 6,40% laki-laki yang menikah di kategori usia tersebut.
Harapan kita semoga kasus Covid-19 di Indonesia segera berlalu. Pendidikan dapat normal kembali agar bangsa kita dapat lebih bersaing di kancah Internasional. Sehingga ke depan memutus tindakan untuk melakukan pernikahan dini, di mana kehamilan dan persalinan perempuan berusia 10-19 tahun berisiko lebih tinggi mengalami eklampsia, puerperal endometritis, dan systemic infection daripada yang usia 20-24 tahun.
Selain itu bayi yang lahirkan memiliki risiko mortalitas dan morbiditas 50 persen lebih tinggi, prematur, berat badan lahir rendah dan pendarahan saat persalinan. (pm2/lis)
Fungsional Statistisi Muda BPS Kabupaten Purworejo