RADARSEMARANG.COM, DUNIA industri juga technologi mengalami percepatan yang dahsyat. Era society 5.0 semakin menunjukkan eksistensi kemajuan tersebut. Kondisi ini akan menimbulkan perubahan dalam berbagai sektor kehidupan. Jika kita membicarakan tentang tekhnologi, mungkin hal yang sangat terkait adalah persoalan media informasi. Konsep Pendidikan ataupun ekonomi, budaya, perilaku, nilai dan persoalan lain yang terkait sistem kehidupan. Era society 5.0 merupakan kelanjutan dari era 4.0 yang merupakan era industry dengan ciri khusus.
Transformasi media dan tekhnologi telah memberi imbas dengan munculnya gaya baru dalam menerima informasi dan gagasan, interaksi sesama individu, pandangan tentang bagaimana mempelajari dunia, masa depan serta berkaitan dengan identitas kita sebagai manusia. Setiap perubahan menuntut masyarakat untuk mengembangkan diri dan menyesuaikan perubahan serta keharusan untuk belajar agar dapat melihat dan memanfaatkan peluang yang muncul. Semua ranah dan profesi harus bergegas menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
¬¬¬¬¬¬¬Beberapa issue menarik berkaitan dengan profesi konselor di era society 5.0 meliputi, Pertama, munculnya konselor buatan (Artificial Counselor). Seiring dengan munculnya kecerdasan buatan (artificial intelligent) maka sangat memungkinkan beberapa tugas konselorpun akan ditangani oleh konselor buatan dan robot yang dapat membantu menangani permasalahan seperti yang ditangani konselor. Jika “assistan google “dapat menunjukkan arah pada peta jalan, maka merujuk pada temuan dan kondisi ini, ke depan pengaplikasian robot dengan kecerdasan buatan ini akan sangat memungkinkan melakukan tugas dalam berbagai bidang seperti konseling. Manusia akan membutuhkan konseling bukan hanya kepada manusia namun juga kepada tokoh seperti hologram dan virtual konselor.
Kedua, Issue sosiokultural. Perubahan yang cepat sangat rawan menimbulkan protes. Selain itu dengan cepatnya tekhnologi maka memungkinkan individu berinteraksi lebih banyak dengan beragam latar belakang dan budaya. Arah Pelayanan konseling harus lebih inklusif,pemahaman tentang perbedaan dan kompetensi sosiokultural harus dipertajam ,dan konselor juga bergerak ke ranah advokasi. Keinklusifan layanan dibuktikan dengan layanan yang mendorong konseli untuk beradaptasi dengan berbagai ras,etnis,bangsa, agama dan strata sosial. Pengalaman hidup yang dibawa ke ruang konseling juga harus mampu mendorong konselor meningkatkan kompetensi secara utuh. Kesenjangan yang tinggi dan keterbatasan individu dalam mengakses sumberdaya sosial harus mampu membuat konselor bekerja secara advokasi. Tugas konselor tidak hanya membuat konseli mampu menerima kehidupan namun perlu menyuarakan hak-hak konseli karena keterbatasan posisi sosialnya tidak mampu menyampaikan hak yang semestinya diperoleh.
Ketiga, tempat konseling dan media yang berkembang. Jika kemarin konseling harus tatap muka, maka mulai saat ini dapat lebih variatif dengan perangkat online. Di sinilah konselor dituntut adaptif terhadap tekhnologi agar mampu menyediakan layanan konseling individu,kelompok maupun bimbingan karir secara tepat. Begitupula dengan sekolah juga harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai yang berorientasi kepada pelayanan konseli.
Perubahan perilaku, gaya hidup dan gaya belajar memungkinan individu mengalami kecemasan, gangguan kesehatan mental, perubahan pilihan karir serta bagaimana individu memiliki kemampuan adaptif. Profesi konselor akan sangat dicari untuk membantu menyelesaikan masalah. Persoalannya adalah bagaimana konselor mampu bergerak meningkatkan kompetensinya agar dapat menangkap peluang itu atau tidak. Ada beberapa peluang yang dapat dilakukan konselor agar tetap eksis dalam perannya bahkan berkontribusi luar biasa .
Pertama, segera betransformasi diri memanfaatkan era digital untuk mendukung kemajuan profesi bimbingan konseling. Misalnya saja mengembangkan layanan assessment dan perencanaan karir serta pengambilan keputusan karir melalui layanan digital. Penguasaan tekhnologi harus menjadi skill konselor. Kedua, konselor dapat mengembangkan diri sebagai content creator, influencer, penyedia hosting atau pengembangan platform layanan bimbingan konseling yang digemari generasi Z. Ketiga, konselor dapat mengambil peluang untuk pengembangan penelitian mutakhir tentang masalah bimbingan konseling, pengembangan perangkat, terapi seperti adiksi game, adiksi terhadap pujian, kemerosotan akhlak, antisosial, ataupun pengembangan karir baru yang disesuaikan dengan kondisi. Era baru tentu akan muncul problem baru yang tidak ada di era sebelumya. Menuliskan gagasan tentang ketrampilan baru di media mengenai dunia konseling juga menjadi peluang yang cukup menggiurkan bagi profesi konselor.Dengan begitu, maka profesi konselor akan menjadi sebuah profesi menarik dan menjanjikan di era society 5.0. (*)
Dosen Psikologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.