Oleh: Dr. Mochlasin Sofyan, M.Ag
RADARSEMARANG.COM – Esensi ibadah puasa (shaum) adalah imsak, yaitu pengendalian diri dari melakukan perbuatan-perbuatan yang berdimensi fisik maupun psikis. Makna pengendalian digunakan karena perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, pada mulanya adalah dibolehkan (halal) seperti makan, minum dan memenuhi kebutuhan seks. Dalam konteks inilah, puasa dipandang sebagai riyadhah (latihan) bagi seorang mukmin untuk menata diri agar siap menghadapi sebelas bulan yang akan datang. Kemampuan pengendalian diri ini penting, agar potensi kejahatan (fujur) bisa dibimbing dengan kebaikan (taqwa). Setelah Alquran berbicara tentang puasa, ayat berikutnya (Al-Baqarah: 188) berbicara tentang larangan makan harta di antara manusia dengan cara tidak beretika (bathil). Urutan ayat tersebut memberikan i’tibar atau ajaran yang sangat penting. Seusai menjalankan puasa, diharapkan mampu mengimplementasikan ajaran pengendalian diri dalam bentuk mematuhi etika dalam mencari harta termasuk berbisnis.
Etika secara historis, lahir dari dekadensi moral bangsa Yunani 2500 tahun yang lalu. Pembicaraan etika, pada mulainya hanya sebatas pada masalah bagaimana menjadi pribadi yang baik. Kemudian berkembang menjadi masalah tentang perlunya perilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan bisnis didefinisikan sebagai aktvitas yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan materi (profit). Bisnis merupakan aktivitas yang memiliki kedudukan mulia dalam ajaran Islam. Bahkan Alquran sejak awal menyebutkan bisnis sebagai cara yang etis dan solutif untuk mendapatkan harta menggantikan cara-cara ribawi (eksploitatif) sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 275. Nabi Muhammad sebagai model bagi umat Islam, dikenal sebagai seorang entrepreneur yang sukses dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan para sahabat yang dijamin masuk surga, kebanyakan pebisnis dan memiliki banyak kekayaan.
Sejatinya, umat manusia seluruhnya menghendaki kehidupan yang damai bermartabat. Untuk menciptakan masyarakat global yang ideal ini, maka setiap individu seharusnya berperilaku etis termasuk dalam berbisnis. Bisnis yang beretika disebut Nabi Muhammad dalam sebuah Haditsnya sebagai bai’ mabrur.
Setelah Alquran mendeklarasikan, bahwa bisnis sebagai cara bermartabat pengganti sistem ribawi yang telah mengakar pada masyarakat Arab jahiliyah. Kemudian Alquran menyatakan dalam surat berikutnya tentang larangan memakan harta dengan cara bathil. Secara bahasa bathil berarti fasad (rusak), ‘abats (sia-sia) dan melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Bisnis yang disertai kebatilan, dalam konteks kontemporer digambarkan sebagai aktivitas bisnis yang tidak mengindahkan etika (unethical business). Selanjutnya Alquran mensyaratkan bisnis yang boleh dilakukan haruslah memenuhi ketentuan ‘an taradhin (An-Nisa’: 29). Istilah ‘an taradhin tidak sekedar bermakna saling rela, tetapi bermakna multidimensi yang meliputi transparan, ukhuwah (persaudaraan-kemanusiaan), ta’awun (saling menolong) dan barakah (bertambahnya kebaikan).
Merujuk beberapa ayat Alquran dan Hadits, praktik bisnis yang masuk dalam pengertian bathil dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama tadlis, ghabn dan khida’, yaitu penipuan dalam aspek kuantitas seperti mengurangi timbangan maupun kualitas seperti mengurangai spesifikasi barang serta wanprestasi. Kedua maysir, yaitu aktivitas bisnis yang dilakukan atas dasar perjudian atau pertaruhan (gambling). Ketiga najasy, yaitu melakukan rekayasa pada supplay maupun demand untuk mendapatkan keuntungan berlipat. Keempat gharar, yaitu spekulasi ekstrim atau mengambil risiko tanpa pengetahuan yang memadai sehingga dapat merugikan penjual maupun pembeli. Kelima dzulm, memanfaatkan kelemahan salah satu pihak dalam informasi atau lainnya untuk mendapatkan keuntungan. Keenam ribawi, yaitu bisnis yang bercirikan money for money, money game dan bisnis yang tidak didasarkan pada underlaying asset.
Ibadah puasa dalam beberapa hari lagi akan berlalu, predikat taqwa menjadi tidak berarti bila seorang belum mampu menangkap esensinya yaitu pengendalian diri. Pengendalian dapat diimplementasikan dengan tidak melakukan praktik-praktik bisnis yang tidak beretika (bathil) tersebut. Etika bisnis tersebut sebenarnya sangat relevan dengan dengan kesadaran global, bahwa kehidupan dunia ini harus damai, sejahtera dan bermartabat. Wa fawqa kulli dzi ‘ilm ‘alim. (*/zal)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Salatiga