RADARSEMARANG.COM, GEGAP gempita Ramadan telah hadir di tengah-tengah kita. Suasana religius merebak di setiap sendi kehidupan. Ruang publik pun berubah menjadi lebih religius, tak terkecuali dunia social media dan media massa serempak menebar suasana Islami.
Di social media misalnya, banyak portal media maupun akun individu berlomba-lomba berbagi info keislaman serta aktivitas ibadah yang dapat atau telah dilakukan. Sementara di media massa, acara-acara maupun tulisan-tulisan bernuansa Islami saling mengisi selama satu bulan penuh.
Bulan Ramadan merupakan habitus/momen yang tepat untuk merubah perilaku ibadah kita. Dalam teori psikologi sosial, Albert Bandura menjelaskan perilaku seseorang sering kali dibentuk oleh apa yang ia amati di lingkungan dimana ia tinggal dan beraktifitas (Feist J & Feist GJ:2006). Secara kognitif, orang akan lebih mudah mempelajari suatu perilaku melalui pandangan matanya. Artinya, orang akan mengikuti suatu perilaku tertentu jika ia bisa mengamati perilaku tersebut dalam keseharian (observational learning). Hal ini telah banyak dibuktikan dalam penelitian psikologi yang juga banyak menginspirasi para praktisi di bidang psikologi dan pendidikan.
Teori ini menegaskan bahwa hasil pengamatan kita sangat mempengaruhi tindakan kita. Tanpa perlu penjelasan yang lama dan rumit, hasil pengamatan dapat secara otomatis muncul dalam perilaku kita. Jika dikaitkan kembali dengan suasana religius di bulan Ramadan. Maka bulan Ramadan menjadi momentum diri kita untuk meningkatkan perilaku ibadah.
Dalam konteks Ramadan, proses mengamati perilaku ibadah orang lain akan mendorong kita turut melakukannya selama kita pernah tahu, pernah kenal, dan pernah merasa dekat dengan berbagai macam perilaku ibadah tersebut. Sehingga suasana intens ibadah di bulan Ramadan, akan lebih kuat pengaruhnya jika kita pernah mengetahui, melihat atau melakukannya dalam keseharian di bulan-bulan lainnya.
Bagi yang tidak biasa ke masjid, bulan Ramadan dapat menuntun banyak orang melangkahkan kakinya ke masjid. Setidaknya untuk salat tarawih di malam bulan Ramadan. Bagi yang tidak biasa tadarus, bulan Ramadan mampu mendorong kita bertahan membaca berlembar-lembar halaman Alquran, mengejar khatam selama Ramadan. Tak ketinggalan pula dengan sedekah, biasanya semakin sering seseorang ke masjid semakin besar pula peluang ia memberikan sedekah atau infaknya melalui masjid tersebut.
Pengaruh-pengaruh ini semakin besar dampaknya seiring dengan masifnya tayangan-tayangan (iklan, film, tausyiah) berkonten ibadah, baik lewat media massa maupun media sosial. Kita pun mendapatkan beragam peluang untuk mengamati berbagai macam perilaku ibadah, sehingga memudahkan kita untuk turut melakukannya.
Maka dari itu, bulan suci ini dengan berbagai keutamaannya juga menjadi bulan yang menguji diri kita. Apakah kita mau dan mampu meningkatkan perilaku ibadah kita? Pertanyaan ini semakin keras gaungnya seiring dengan pengetahuan kita bahwa di bulan suci setan dibelenggu, malaikat bertebaran di muka bumi, serta pahala ibadah pun dijanjikan berlipat-lipat.
Dengan demikian, setiap diri muslim memiliki tanggung jawab penuh untuk mengarahkan diri menjadi lebih baik atau tidak. Walhasil, bulan suci mampu mempengaruhi psikologi kita sehingga mendorong diri kita ke arah perubahan perilaku ibadah yang lebih berkualitas. Semoga kita sanggup memanfaatkan momentum Ramadan, untuk meningkatkan keimanan & ketaqwaan kita kepada Allah SWT, amiin ya robbal ‘alamiin. (*/ida)
Dosen UIN Walisongo Semarang