RADARSEMARANG.COM, Sudah lebih dari dua pekan ini umat Islam di Indonesia menjalankan ibadah puasa Ramadan. Budaya masyarakat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan hampir pasti berbeda dengan bulan biasanya. Masyarakat lebih banyak melakukan aktivitas pembelanjaan kebutuhan barang/jasa di bulan Ramadan dan hari raya. Akibatnya, harga kebutuhan pokok merangkak naik berkali lipat dari harga normal.
Sesuai teori, apabila konsumsi barang/jasa masyarakat meningkat secara signifikan maka yang perlu diwaspadai adalah inflasi. Inflasi yang bersumber dari permintaan konsumen (demand push inflation).
Menjelang Idul Fitri jumlah uang yang beredar di pasar meningkat. Hal ini akan mengubah kurva keseimbangan menjadi semakin elastis. Harga-harga mudah mengalami lonjakan. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa tengah, Maret 2021 di Jawa Tengah mengalami inflasi 0,08 persen, dengan tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Maret 2021) sebesar 0,47 persen. Penyebab utama inflasi adalah kenaikan harga komoditas bawang merah, cabai rawit dan minyak goreng. Meskipun beberapa komoditas sudah mengalami lonjakan harga tinggi (seperti cabai rawit), tetapi inflasi di Jawa Tengah masih terkendali.
Karena sebulan sebelum memasuki Ramadan belum terjadi lonjakan konsumsi masyarakat. Jika melihat tren inflasi selama beberapa tahun terakhir, setiap menjelang Idul Fitri angka inflasi selalu melesat naik. Bulan Ramadan 2020, laju inflasi di Jawa Tengah 0,07 persen dengan tingkat inflasi tahun kalender sebesar 0,62 persen. Kenaikan harga daging ayam ras serta bawang merah sebagai komoditas penyumbang utama terjadinya inflasi. Kelompok bahan makanan serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau merupakan langganan pemberi andil terbesar inflasi menjelang Idul Fitri. Hal ini selaras dengan penelitian AC Nielsen. Diungkapkan AC Nielsen, di bulan Ramadan penjualan barang konsumen di Indonesia, termasuk makanan, meningkat 9,2 persen. Angka ini merepresentasikan peningkatan konsumsi masyarakat.
Di Jawa tengah, masalah stabilitas harga barang dan jasa menjelang Idul Fitri bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor dominan. Yaitu pertama kebijakan perekonomian pemerintah yang berorientasi pada pertumbuhan lebih berorientasi untuk mendorong sisi permintaan, sehingga semakin membentuk gaya hidup yang cenderung konsumtif di masyarakat. Kedua faktor budaya masyarakat. Kebiasaan masyarakat menjelang Idul Fitri adalah meningkatnya konsumerisme barang dan jasa.
Kepanikan masyarakat akan langka dan menghilangnya komoditas barang dan jasa menjelang Idul Fitri turut memicu melejitnya harga. Kepanikan tersebut menyebabkan terjadinya pembelian barang-barang besar-besaran dan serentak. Sehingga stok barang di pasar menipis bahkan habis.
Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) mempunyai kewenangan dan otorisasi penuh mengendalikan ketidakwajaran harga dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah distribusi barang juga harus bisa diminimalisasi dengan keberadaan jalan tol trans Jawa. Keberadaan jalan bebas hambatan ini sangat membantu distribusi barang dari daerah penghasil barang ke daerah pengguna. Keadaan ini menjadi sinyal harus ada terobosan baru agar stabilitas harga benar-benar tercapai.
Idealnya, pengendalian harga dapat dicapai lewat ketersediaan komoditas. Apabila permintaan dan penawaran meningkat dengan derajat yang sama maka harga tidak akan berubah. Peran pemerintah sangat penting untuk memastikan ketersediaan barang lewat lembaga seperti Bulog dan TPID (melalui operasi pasar). Pemberian subsidi dinilai kurang tepat, walaupun subsidi nantinya dapat menurunkan harga-harga, namun hal ini akan menambah beban pengeluaran negara. Pemerintah juga harus menciptakan psikologi yang aman terkait ketersediaan barang kebutuhan pokok menjelang Idul Fitri. Apabila secara psikis masyarakat menganggap stok barang dan jasa cukup untuk memenuhi kebutuhan, maka tidak akan melakukan pembelian serentak dalam jumlah besar sehingga menyebabkan kelangkaan barang.
Masalah stabilisasi harga menjelang Idul Fitri terus terjadi tiap tahun. Sudah sepatutnya jika lonjakan harga komoditas menjelang Idul Fitri tidak dianggap sebagai siklus musiman biasa. Kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah melibatkan semua komponen masyarakat akan mampu mewujudkan ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau setiap hari tanpa kecuali. Termasuk menjelang Idul Fitri. (pm2/lis)
Statistisi BPS Kabupaten Semarang