Oleh: Ahmadi H.Dardiri. M.H
RADARSEMARANG.COM – Perguruan tinggi di Indonesia telah berjuang untuk membangkitkan kembali doktrinasi pancasila yang telah mulai memudar di kalangan mahasiswa. Dukungan formil pemerintah terhadap agenda ini dimulai sejak tahun 2012 dengan kemunculan UU No.12/2012 tentang Pendidikan tinggi yang dalam Pasal 35 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia. Dukungan ini mendadak hilang dengan kemunculan Peraturan Pemerintah (PP) No.57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 40 PP No.57/2021 ini menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat hanya 3 mata kuliah yaitu pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa.
PP No.57/2021 ini secara normatif bertentangan dengan UU Pendidikan Tinggi No.12/2012 dengan meniadakan Pancasila dan spesifikasi kata “Indonesia” dalam frasa mata kuliah “Bahasa Indonesia” sebagaimana tercantum dalam UU Pendidikan tinggi. Berdasar teori hirarki dengan menggunakan kaidah “lex superior derogate legi inferior” atau bahwa hukum yang diatas akan menghapus hukum yang dibawah secara hirarkis, PP No.57/2021 memang memiliki kemungkinan besar untuk tidak berlaku apabila nantinya di ajukan hak uji materil.
Permasalahan ideologis yang muncul berkaitan dengan PP ini adalah tidak diutamakannya pancasila yang merupakan ideologi bangsa untuk masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. Hal ini bisa dilihat dari tidak termuatnya mata pelajaran pancasila sebagai mata pelajaran wajib dalam pendidikan dasar dan menengah yang diatur dalam PP yang merupakan aturan lanjutan dari UU Sistem Pendidikan Nasional ini. Keberadaan Pancasila dalam format pendidikan hanya dijaminkan oleh UU No.12/2012 Pendidikan Tinggi.
Doktrinasi Pancasila merupakan hal penting untuk tetap dilaksanakan dalam era globalisasi seperti saat ini. Indonesia yang sedang mengalami permasalahan doktrin radikalisme keagamaan dan menjadi penyebab permasalahan disintegrasi bangsa saat ini membutuhkan pancasila sebagai pemersatu bangsa. Jika melihat dari adanya jaminan pengaturan berkaitan dengan muatan wajib dilembaga pendidikan diatas, maka pancasila hanya diwajibkan untuk diajarkan dalam lembaga pendidikan tinggi saja. Hal ini tentu menjadi tugas berat bagi pendidikan tinggi untuk turut serta menjaga ideologi pancasila apabila doktrinasi ini tidak dimulai dari pendidikan dasar.
Alvara Research Center pada tahun 2017 sempat merilis survey yang menyatakan bahwa dukungan mahasiswa di pendidikan tinggi terhadap pembentukan khilafah HTI di Indonesia menyentuh angka 17 persen, sedang yang menginginkan indonesia berubah menjadi negara islam terdapat 23 persen. Dari data ini kemudian pemerintah melakukan penyikapan yang baik dengan menerbitkan Perppu Ormas yang berimplikasi pada pembuabaran HTI di Indonesia serta melakukan upaya-upaya deradikalisasi melalui kajian-kajian dan seminar-seminar. Namun agaknya upaya ini tidak diimbangi dengan formalisasi aturan dalam pendidikan di Indonesia.
Doktrinasi Radikalisme yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa ini harus dilawan dengan doktrinasi ideologi negara yang dirancang secara terstruktur dalam pendidikan nasional. Jika hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin ideologi radikalisme akan tumbuh subuh di lembaga pendidikan dasar dan menengah, sementara tugas perguruan tinggi untuk melakukan doktrinasi pancasila akan menjadi lebih berat karena penanaman dasar pencasila ditingkat dasar dan menengah tidak dikuatkan.
Upaya negara untuk mencegah disintegrasi bangsa ini dapat dilakukan dengan tidak hanya sekedar mencabut PP No.57/2021, akan tetapi harus juga disertai dengan pencatuman pendidikan Pancasila dalam mata kuliah atau mata pelajaran sekolah. Untuk menangani permasalahan korupsi yang begitu besar di Indonesia, kita sanggup membuat mata pelajaran dan mata kuliah tentang pendidikan anti korupsi bahkan hingga level usia dini, lalu mengapa kita harus berpikir panjang untuk melakukan penjagaan ideologi pancasila. (*/zal)
Sekjen Pusat Studi Peraturan Perundang-Undangan, Dosen Hukum Tatat Negara, Fakultas Syariah IAIN Salatiga