Oleh : Kholifatun Nur Mustofa MH
RADARSEMARANG.COM – Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh salah satu atau keduanya masih belia. 20 tahun misalnya, dianggap sebagai usia yang dianggap dini untuk melakukan pernikahan. Padahal 20 tahun sudah di atas ketentuan batas minimum menikah di Indonesia. Sedangkan pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan.
Aturan tentang batas usia minimum menikah di Indonesia sebelum tahun 2019 adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Usia tersebut dianggap terlalu muda jika dijadikan sebagai standar batas usia minimum menikah. Mulai dari situ, beberapa lembaga menginginkan batas usia tersebut diperbaharui.
Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan cara untuk memperbaharui batas usia minimum. Upaya tersebut tentu tidak mudah, sebab pengajuan pembaharuan batas usia minimum sudah dua kali.
Keputusan MK tersebut menjadikan angin segar bagi lembaga dan pihak-pihak yang memperjuangkan pembaharuan batas usia minimum tersebut. Salah satu alasan menaikkan batas usia minimum tersebut adalah supaya dampak negatif seperti kematian ibu muda tidak lagi terjadi. Selain itu agar pernikahan dilakukan oleh kedua mempelai sudah matang secara fisik maupun mental.
DPR mengumumkan bahwa batas usia minimum yang tertuang dalam Undang-Udang (UU) Perkawinan tentang batas usia minimum secara sah diperbaharui. Pada 16 September 2019, DPR mengumumkan pembaharuan batas usia minimum menikah. Sebelumnya, aturan yang tertuang dalam UU Perkawinan tertuang batas usia minimum untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, setelah adanya pembaharuan usia menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Apakah batas minimum 19 tahun tersebut merupakan patokan realnya? Ataukah pernikahan di bawah 19 tahun masih tetap bisa dilakukan? Mengacu pada aturan UU Perkawinan yang tertuang dalam pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa seseorang yang ingin menikah tetapi umurnya masih di bawah ketentuan. Maka ia bisa mengajukan permohonan kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini Pengadilan, untuk meminta dispensasi nikah.
Hakim memang menjadi kunci dalam menetapkan permohonan dispensasi nikah diterima atau dikabulkan, tetapi penetapan hakim bukan menjadi solusi akhir menghentikan pernikahan di bawah umur. Banyak faktor yang mempengaruhi pernikahan itu cepat dilakukan, bahkan oleh anak yang belum lulus sekolah menengah atau atas. Alasan yang sering diajukan adalah karena calon mempelai perempuan sudah hamil.
Beberapa sebab terjadinya hamil di luar nikah adalah dimulai dari pola asuh yang tidak tepat, kurangnya afeksi orang tua, broken home, pergaulan bebas, kurang bijaknya memanfaatkan media sosial dan internet, pantauan dan kontrol orang tua yang kurang serta yang paling penting adalah pondasi dan pemahaman agama yang lemah, sehingga membuat kasus hamil di luar nikah tersebut banyak terjadi.
Beberapa hal di atas merupakan faktor yang mempengaruhi meningkatnya pernikahan di bawah umur. Oleh sebab pembenahan dalam keluarga merupakan titik penting yang harus dilakukan untuk menekan tingkat pernikahan di bawah umur. Pembaharuan usia minimum memang penting, tetapi juga pembenahan secara sosial juga penting dilakukan.
Riset yang pernah penulis lakukan di wilayab DIJ, Jateng dan Makassar tentang batas usia minimum dan dispensasi nikah mengungkapkan bahwa seberapa tingginya aturan tentang batas usia minimum menikah di Indonesia tetap terdapat celah, yaitu penikahan di bawah usia yang telah ditetapkan masih bisa dilakukan dengan cara mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan setempat.
Aturan dispensasi nikah tersebut tidak terdapat standar minimum umur, sehingga pernikahan di bawah umur berapapun tetap bisa dilakukan. Hakim tidak memperhatikan usia anak pemohon, tetapi lebih kepada alasan yang diajukan, sebab aturan yang tertuang memang tidak mengatur standar usia minimum dispensasi nikah.
Case yang penulis temukan di PA Salatiga mengungkapkan bahwa adanya dua kasus pernikahan yang dilakukan oleh anak yang berusia 14 tahun. Dua kasus tersebut tertuang dalamputusan nomor 0103/Pdt.P/2019/PA.SAL dan nomor 84/Pdt.P/2014/PA.SAL. Hakim mengabulkan permohonan pemohon, sehingga dapat disimpulkan bahwa pernikahan anak usia 14 tahun tetap bisa dilaksanakan.
Pembaharuan usia minimum yang tinggi tidak akan menekan tingkat pernikahan di bawah umur, selama masih terdapat celah yaitu dispensasi nikah dan dibarengi dengan tidak adanya aturan tentang batas minimum kebolehan menerima kasus pernikahan melalui dispensasi nikah. Sebagaimana aturan yang diberlakukan di Maroko yang memberikan patokan batas usia minimum pengajuan dispensasi nikah serta menerapkan sanksi bagi yang melanggar. Sehingga aturan yang dibuat tidak hanya memperbaharui batas usia minimum menikah, tetapi juga memberikan batas minimum pada kasus dispensasi nikah, supaya efektif menekan tingkat pernikahan di bawah umur, tentunya dibarengi dengan pembenahan dalam keluarga. (*/ida)
Dosen Fakultas Syariah IAIN Salatiga