27.1 C
Semarang
Thursday, 9 October 2025

Bertasamuh sebagai Sikap Rukun Damai Antar Umat Beragama

Artikel Lain

Oleh : Muna Erawati

RADARSEMARANG.COM – Ketika penulis mengisi Kajian Pesantren Kilat di sebuah sekolah menengah atas di Salatiga, ada salah seorang siswa yang mengutarakan bahwa toleransi adalah konsep dari barat yang sengaja dicangkokkan dalam pikiran umat Islam di Indonesia. Dia mengkritik kampanye toleransi sebagai dalih untuk memperlemah keimanan umat Islam atas kebenaran agamanya. Brainstorming dengan para siswa tersebut mengindikasikan bahwa remaja muslim saat ini sudah cukup kritis dengan keberagamaannya. Walaupun demikian, pada sisi lain pemaknaan akan toleransi masih menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda, khususnya di kalangan generasi muda, dan umat Islam secara umum.

Istilah toleransi berasal dari kata tolerance yang artinya lapang dada, sabar, dapat menerima, dan seterusnya. Penggunaan kata toleransi dipersepsikan sebagai sikap lemah atau mengalah terhadap apapun yang dilakukan oleh pihak lain. Hal ini mengakibatkan sebagian orang tidak setuju dengan konsep toleransi antar umat beragama. Bagaimana tidak, berlapang dada dengan kelompok lain tentu bersifat relatif dan mustahil dilakukan apabila pihak lain melakukan tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai moral universal yang juga merupakan nilai-nilai moral Islam.

Lain halnya dengan istilah rukun yang berasal dari Bahasa Jawa yang memiliki padanan kata guyub artinya damai. Kerukunan dalam ajaran Islam diistilahkan tasamuh. Rukun dalam masyarakat Islam telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam masyarakat Madinah yang hidup umat beragama Islam, maupun Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi dan Nasrani diizinkan dan dijamin keselamatannya (nyawa dan harta bendanya) selama mematuhi aturan-aturan yang berlaku pada sosial kemasyarakatan di Madinah pada waktu itu. Mereka juga boleh melaksanakan ajaran agama sesuai keyakinannya.

Idealnya, dalam masyarakat yang majemuk, kehidupan dibangun atas dasar tolong-menolong (ta’awun) dalam kebaikan. Ta’awun dapat terlaksana apabila didasari oleh sikap damai atau rukun. Dalam sikap rukun dan damai ini terkandung semangat dakwah umat Islam. Sikap rukun dan damai ini digunakan pula untuk menyelesaikan konflik yang mungkin saja timbul dalam relasi sosial.

Masyarakat dunia saat ini menoleh ke Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar, tetapi bisa hidup rukun damai dalam keragaman etnis-ras-agama. Rukun damai membawa Indonesia sebagai contoh tasamuh sebagai implementasi ajaran Islam yang disebarkan para Walisongo dan ulama terdahulu. Jawa sebagai pusat peradaban di Nusantara menorehkan prasasti tak ternilai bahwa Islam dan budaya lokal (Jawa) mampu bersanding. Hidup selaras dalam sikap saling menghargai, takut menyakiti maupun menyinggung pihak lain, sehingga kehati-hatian menjadi ciri utama untuk mengejawantahkan hidup rukun damai antar umat.

Sikap rukun damai ini dilakukan pada dimensi basyariah (horizontal). Sikap rukun damai berada pada aras manusia dan kemanusiaan. Menyumbangkan darah pada mereka yang berbeda agama adalah dimensi manusia dan kemanusiaan. Keimanan, aqidah merupakan dimensi vertikal yang ruangnya bersifat personal, tetapi sekaligus sosial pada ruang lingkup pemeluk agama yang sama. Seperti firman Allah dalam al Kaafirun 1-6: “Katakanlah, “Hai orang-orang kafir! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan tiada pula kamu menyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku bukan penyembah apa yang biasa kamu sembah, dan kamu bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”.

Dengan demikian, penafsiran bahwa kerukunan antarumat beragama berarti mentolerir atau menerima tindakan umat lain dengan hanya sikap diam membiarkan adalah tidak benar. Dalam kehidupan bermasyarakat, para anggotanya saling mengingatkan apabila mereka melakukan kesalahan. Cara yang digunakan untuk saling mengingatkan juga telah dibangun para leluhur dan dilestarikan hingga sekarang dalam bentuk musyawarah warga lokal dengan berabagai bentuk dan wadah.

Ada beberapa tantangan yang dihadapi generasi sekarang untuk membangun kerukunan antar umat beragama ini: Pertama, sikap ekslusif kelompok yang berlebihan. Pada kondisi ini, mereka merasa hanya kelompoknya yang mutlak suci/benar. Kebenaran ini diklaim dengan ketakaburan, bukan dengan sikap rendah hati dan bersyukur. Sikap merendahkan ini berubah menjadi kebencian pada makhluk lain. Padahal semua makhluk adalah ciptaan Allah. Pada saat yang bersamaan, mereka lupa bahwa Allah Maha Tahu tentang tujuan di balik keragaman yang Dia ciptakan tersebut. Kedua, hate speech atau segala sesuatu yang ditujukan pada kelompok lain yang dilatarbelakangi oleh kebencian terhadap kelompok lain. Misalnya, mengkafirkan kelompok lain. Ketiga, bertindak yang ditujukan pada kelompok lain tanpa nilai-nilai moral universal. Melakukan tindakan kriminal yang ditujukan pada kelompok lain. Keempat, melakukan yang ketiga dengan mengatasnamakan agama. Melakukan teror dengan dalih ajaran atau membela agama.

Dalam ajaran Islam dikenal rasa amarah, kebencian, dan emosi negatif lainnya. Ungkapan emosi negatif ini wajar dirasakan oleh makhluk, tetapi Allah mengajarkan agar kebencian, rasa amarah tersebut ditujukan pada perilaku, bukan pada makhluk. Cara mengingatkan pihak lain pun semestinya dilakukan dengan baik (dakwah bil al hikmah; bi al-lisan; bi al hal). Ketika kita hidup dalam negara hukum, maka menempuh jalur hukum adalah jalan strategis.

Kerukunan kedamaian antar umat beragama menjadi salah satu fondasi persatuan NKRI yang harus dijaga bersama-sama. Mengembangkan sikap tasamuh dengan mengedepankan tepa selira, kehati-hatian, dan saling menjaga dalam kebaikan. Menyelesaikan persoalan dan konflik sesuai aturan atau kesepakatan hukum yang berlaku. Inilah tugas rakyat di NKRI. Para pemimpin juga tidak boleh hanya menuntut rakyatnya rukun damai, tetapi tidak memberi keteladanan yang baik Para pemimpin harus bersikap, berpikir, dan bertindak dengan platform bahwa dirinya adalah wakil rakyat dan selalu dimonitor rakyat. Tak ada ruang sedikit pun untuk menyalahgunakan kewenangan hanya kepentingan pribadi atau kelompok serta jangka pendek dan berorientasi materialis-kapitalis.

Generasi muda sekarang harus memahami alur pikir di atas, supaya sepanjang kehidupan kalian memiliki prinsip yang jelas. Terutama saat berhadapan dengan berbagai kondisi baru yang bentuknya selalu baru. Semoga apa yang diuraikan di atas dapat menjadi bekal para remaja menghadapi hari-hari esok di tengah keragaman nasional dan kemajemukan global. (*)

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya