RADARSEMARANG.COM, BERDASAR prakiraan cuaca yang disampaikan oleh BMKG, bahwa musim kemarau yang terjadi di Jateng tahun ini kategori kemarau basah. Tidak akan seperti tahun lalu yang terjadi kemarau panjang dengan cuaca ekstrim, sehingga saat itu banyak wilayah di Jateng yang mengalami kekeringan. Salah satu buktinya sampai dengan akhir Juni, masih ada beberapa wilayah di Jateng terjadi hujan.
Kemarau basah ini memungkinkannya sumber air tetap ada dan mampu untuk mengairi sawah pertanian. Apalagi jika ditunjang dengan sistem irigasi dan pemanfaatan embung yang baik. Sebenarnya menjadi harapan baik akan potensi produksi beras Jateng yang lebih baik dari tahun sebelumnya yang juga telah mengalami penurunan. Jika tahun 2018 produksi beras Jateng sebesar 6 juta ton, pada tahun 2019 turun menjadi 5,5 juta ton. Di antara penyebabnya adalah situasi kemarau.
Namun hal tersebut tidak tercermin dalam data BPS Provinsi Jateng. Dari data tersebut menunjukkan bahwa, panen raya padi di wilayah Jateng tahun ini terjadi pada dua bulan berturut-turut yaitu Maret dan April 2020, masing-masing produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 1,69 dan 1,70 juta ton. Jika dibandingkan dengan tahun 2019 terlihat bahwa panen tahun ini sedikit mengalami kemunduran waktu. Karena tahun lalu, puncak panen terjadi pada Maret dengan jumlah yang cukup tinggi yaitu 2,02 juta ton dan April sedikit menurun dengan 1,49 juta ton. Disamping itu, akibat luas panen yang menurun. Dari perbandingan dua bulan puncak panen tersebut, terjadi penurunan produksi sebesar 120 ribu kuintal.
Demikian halnya, hasil pengukuran produksi padi berdasar metode KSA yang mampu memprediksi potensi produksi sampai tiga bulan ke depan, maka potensi produksi hingga akhir Agustus akan menghasilkan GKG sebesar 7,78 juta ton. Sementara pada periode waktu yang sama tahun lalu berhasil memproduksi GKG lebih tinggi yaitu sebanyak 8,23 juta ton.
Jika data tersebut dikonversi menjadi beras, dipastikan produksi beras Januari-Agustus tahun ini lebih rendah sebesar 260 ribu kuintal dibanding delapan bulan pertama tahun 2019. Jika situasi produksi padi selama bulan defisit (September-Desember) tahun ini dengan bulan defisit tahun 2019 sebesar 1,42 juta ton GKG atau setara dengan 1,26 juta ton beras, maka produksi beras Jateng 2020 hanya akan sebanyak 5,26 juta ton atau turun sekitar 280 ribu ton dan hanya surplus 1,48 juta ton. Dengan begitu selama tiga tahun terakhir akan mengalami tren penyempitan surplus.
Jika asumsi itu benar dan terjadi pada seluruh wilayah di Indonesia, bukan tidak mungkin tahun ini akan terjadi defisit beras nasional. Selama ini, kesetimbangan neraca beras maupun dalam rangka memenuhi cadangan beras nasional, pemerintah melakukan kebijakan impor. Namun suasana pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia tak terkecuali terhadap negara produsen beras, ini perlu diantisipasi.
Bahkan, produsen beras utama dunia yang selama ini juga menjadi langganan impor Indonesia seperti Vietnam dan Thailand, jelas akan lebih mengutamakan memenuhi dan cadangan beras dalam negerinya, sebelum melakukan ekspor.
Karena itu, dalam rangka memastikan stok dan harga stabil, diperlukan kepastian bahwa distribusi beras dapat tersebar merata pada sisi wilayah dan waktu. Tersedia pada wilayah non produsen dan tersedia pada waktu dibutuhkan terutama saat bulan-bulan defisit produksi.
Perlu juga memastikan kecukupan modal petani padi agar tetap menanam. Pasalnya, pandemi ini telah menurunkan daya beli masyarakat, dalam hal ini petani. Jangan sampai uang yang seharusnya digunakan untuk modal usaha pertanian beralih untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Kepastian harga produksi seperti harga gabah harus terjamin. (*/ida)
Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Jateng