25 C
Semarang
Tuesday, 24 December 2024

Panggil Saya Pak Oei (Oei Hong Djien)

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Sabtu lalu menjadi akhir pekan yang luar biasa bagi saya. Bertemu Oei Hong Djien. Kolektor 2.000 lebih lukisan sekaligus pemilik tiga museum di Kota Magelang. Diterima di rumah pribadinya. Ngobrol selama dua jam. Tentu tidak semua orang bisa mendapat kesempatan seperti itu.
Kakek 83 tahun itu kelihatan santai. Mengenakan T-shirt biru, celana jins dark grey, dan sandal hitam. Kondisinya kelihatan prima. “Panggil saya Pak Oei,” katanya ketika saya salah menyebut. Tawanya lepas ha ha ha. Tawa itu menjadi resep panjang umurnya. “Hidup harus bergembira,” tambahnya.

Tawanya yang khas bisa dinikmati siapa saja di museum OHD di belakang rumah pribadinya. Di sana ada sebuah patung Pak Oei. Di depannya terdapat dua tapak kaki mirip timbangan badan. Saya injakkan dua kaki. Keluar suara ha ha ha. Badan patung itu bergetar. Itu suara asli Pak Oei. “Saya tidak tahu kapan merekamnya,” ujarnya.

Patung itu hadiah dari seseorang saat dia menikahkan putra pertamanya. Pestanya dikemas dengan tema Art Wedding. Patung itu menjadi salah satu hiasan.

Pertemuan dengan Pak Oei itu sebenanya tidak sengaja. Saya ditemani lima wartawan Radar Magelang: Puput Puspitasari, Luqman Sulistyawan, Rofik Syarif Ghirinda Putra, Riri Rahayuningsih, dan Listyorini Retno Wibowo (GM). Tulisan mereka akan disajikan menyusul.

Sehari sebelumnya saya ke Kota Magelang. Menjalani tugas rutin. Mengurus Radar Magelang yang baru saja pindah kantor ke Jalan Sultan Agung No 5. Malamnya stay di sebuah hotel resort, dekat rumah dinas wali kota. Hanya beberapa puluh meter dari Taman Kiai Langgeng.

Seorang teman, Vikram Hutasuhud, mengirim pesan. “Jangan lupa mampir ke OHD,” katanya. OHD itu singkatan nama Oei Hong Djien yang sekaligus menjadi nama museumnya. Vikram pernah menghubungkan OHD dengan Dahlan Iskan lewat video call. Saya di samping Pak DI. “Saat itu saya mengucapkan selamat ulang tahun,” kata Pak Oei.

Mengobrol dengan Pak Oei di ruang tamu selama sejam rasanya ingin tertawa saja. Tembok, belakang Pak Oei duduk, dihiasi patung payudara. Sangat besar. “Siapa yang bisa memegang kedua putingnya dengan membentangkan kedua tangan, keinginannya akan tercapai,” gumam saya. Pak Oei tertawa. Saya pun membentangkan tangan. Tidak bisa menjangkau.

Oei Hong Djien dan Baehaqi di depan lukisan Kwan Kong. (Puput Puspitasari/RADARSEMARANG.COM)

Ketika menjelajah museum selama sejam juga saya dibuat cekikikan. Ada sesosok wanita telanjang. Rambutnya tergerai. Tangannya mengatup di bawah dagu. Badanya agar membungkuk. Seperti orang kedinginan. Saya membisikkan sesuatu ke telinganya. “Kita berteman.”

Sorot lampu memperjelas lekuk-lekuk tubuhnya. Termasuk alat vitalnya. Konon rambut wanita itu asli. Ternyata tidak. Hanya bulu pada kemaluannya yang asli. Saya kira milik modelnya. Ternyata punya pematungnya.

Sosok wanita itu adalah patung yang dibuat seniman terkenal, Edhi Sunarso, atas permintaan modelnya. Hasilnya persis seperti model itu telanjang kedinginan. “Apakah Pak Oei pernah ditemui dia?” tanya saya. “Ha ha ha. Saya tidak percaya begituan,” jawabnya dengan terbahak-bahak.

Di tempat lukisan Kwan Kong: The Legendary General pun tidak terlalu menyeramkan. “Ini penunggu museum ini,” kata Pak Oei. Lukisan itu dibuat Affandi tahun 1965. Kelihatan seperti hidup meskipun dibuat dengan model patung. Lukisan itu selalu berada di tempatnya. Tidak seperti yang lain yang terkadang dipamerkan di tempat lain. Semula saya agak merinding. Tapi Pak Oei malah tertawa.

Selama menjelajah isi museum Pak Oei menjelaskan dengan riang. Pada bagian tertentu lengkap dengan pelukisnya, modelnya, situasinya, dan filosofinya. Pak Oei bukan sekadar kolektor. Dia sekaligus kurator ulung.

Pak Oei mengoleksi lukisan untuk membahagiakan diri. Lama-lama berpikir untuk menyenangkan orang lain. Dibuatlah museum. Sekarang sudah terkenal sampai mancanegara. Obsesinya kelak menjadi ikon Kota Magaleng. Seperti Borobudur yang menjadi ikon Kabupaten Magelang. Itulah baktinya kepada kota kelahiran.

Museum pertama dibuat di rumah yang dia tinggali sekarang. Rumah itu dibangun di atas tanah 1.700 m2. Kamar pribadinya di bagian tengah. Di sebelahnya ruang kerja. “Kalau yang ini ruang baca,” katanya menunjuk ruangan di depan kamar tidur. Ada dua kamar lain yang kosong. Disediakan untuk anak dan cucunya kalau berkunjung. Di rumah besar itu Pak Oei tinggal seorang diri.

Rumah itu diperluas ke belakang. Seluruhnya difungsikan untuk museum. “Keseluruhan tanahnya menjadi 3.500 meter. Pak Oei mengajak berfoto bersama di depan gedung belakang. Itulah sesungguhnya bagian depan museum itu. Dindingnya yang tinggi dihiasi lukisan hadiah dari Widayat. Menceritakan perjalanan kehidupan. Pengunjung museum itu kalangan tertentu.

Kedua, di Jalan Jenggolo, tempat kelahirannya. Museum itulah yang dibuka untuk umum. Ketiga di Jalan Tidar juga bekas rumah yang ditinggali. Belum diresmikan, tetapi sudah banyak orang berkunjung.

Di ketiga museum tersebut juga banyak karya seni patung.

Pak Oei bukan terlahir sebagai seniman. Keinginannya memajang lukisan baru muncul tahun 1965. Setahun setelah lulus kedokteran. Harganya Rp 10.000. Sama dengan Rp 10 setelah devaluasi. Saya ingin melihat lukisan itu. “Ah, itu sudah di gudang,” ujar Pak Oei.

Lukisan itu bergambar gerobak sapi. Pelukisnya tidak terkenal. Namanya Santoso. Itulah lukisan pertama sekaligus yang paling murah. Dulu, Oei menganggap lukisan itu sudah bagus. Sekarang tidak ada nilainya. Bahkan disebut sebagai koleksipun tidak bisa. “Tetapi tetap saya simpan,” ujarnya.

Lukisan yang paling mahal? Oei tidak bisa menyebut. Bisa jadi ketika beli hanya jutaan tetapi sekarang sudah miliaran.

Dia terus menambah koleksinya itu. Lukisan terakhir dia beli di Banyuwangi ketika ada pameran lukisan di sana. Belakangan dia juga diberi orang.

Tak terhitung Oei mengeluarkan uang untuk mengoleksi lukisan. Jumlahnya saja 2.000 lebih. Kebanyakan dibuat oleh pelukis terkenal. Mulai Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, Sudjojono, Widayat, dan sebagainya. Dia tahu semua makna lukisan itu.

Pak Oei memang orang kaya. Sejak sebelum lahir. Ayah dan kakeknya juragan tembakau. Dia meneruskan warisan leluhur. Sampai akhirnya diangkat menjadi grader di PT Djarum. Grader adalah penilai kualitas tembakau. Dengan penciumannya dia bisa menganalisisa jenis-jenis tembakau serta tingkatannya.

Meski demikian, dia tidak pernah berpikir mengamankan diri, lukisan, serta hartanya. “Saya tidak pernah terlintas,” ujarnya. Dengan pengamanan yang ketat justru bisa terbelenggu. Tidak bisa tertawa lepas.
Toh hidup ini pada dasarnya hanya ingin skop. Untuk penguburan. Dia menunjuk salah satu patung berwarna merah dengan lima skop bertulisan lima agama. (*)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya