RADARSEMARANG.COM – Di balik perjalanan Dahlan Iskan ke Blora, Rembang, dan Pati, Jumat – Sabtu (19-20/11/2021) lalu ada wanita hebat. Dia Nafsiah, istri Dahlan. Dalam perjalanan itu, mereka juga bertemu wanita-wanita hebat lainnya.
Sudah dua kali Nafsiah berkunjung ke wilayah Radar Kudus sejak saya pimpin. Yang pertama berziarah ke makam para wali. Saya mengantarnya ke Makam Sunan Kalijaga di Demak, Makam Sunan Kudus, dan Sunan Muria di Kudus. Beliau mampir juga di kantor Radar Kudus.
Meski sudah lanjut usia, semangatnya luar biasa. Fisiknya juga masih kuat. Padahal perjalanan bersama Pak Dahlan tersebut cukup melelahkan. Berangkat dari Surabaya pukul 08.00 baru berhenti di Pati pukul 21.00. Hari berikutnya malah dimulai pukul 03.00. “Beliau masih enerjik,” komentar Tutik Nurul Jannah, menantu KH Sahal Machfud. Istri rektor Institut Pesantren Mathali’ul Falah KH Abdul Ghofarrozin M Ed.
Ketika istirahat makan di warung Lontong Opor Pak Pangat, dekat Bandara Ngloram, ibu dua orang anak itu membisiki saya. “Bungkus.” Saya paham. “Lontongnya tiga saja,” pesan Nafsiah. Saya minta ke Bu Pangat untuk membungkuskan beberapa potong. Tak ketinggalan juga ikan jendil goreng. Sejenis ikan patin. Kepala dan ekornya dimasak garang asem.
Bu Pangat adalah wanita hebat di balik sukses Pak Pangat. Namanya Lontong Opor Pak Pangat. Tetapi, yang masak sesunggunnya adalah Bu Pangat. Dahlan memuji masakannya. “Saya habis tiga potong ayam,” ujarnya. Saya makan satu potong dan satu lontong saja sudah merasa kenyang.
Di Pondok Sabilil Muttaqin, Randublatung, Blora, saya tidak tega melihat Bu Dahlan harus naik tangga ke lantai dua berdesakan dengan para penyambutnya. Saya ulurkan tangan. Tetapi beliau lebih memilih berpegangan pagar tangga. “Tahu saja anak lanang ini,” katanya. Nafsiah memanggil saya anak lanang. Saya merasa tersanjung.
Dalam perjalanan ke Rembang beliau minta berhenti di makam Kartini. Wanita hebat pelopor emansipasi wanita. Di makam itu saya melihat Bu Dahlan kesulitan untuk berdiri setelah bersimpuh. Tetapi beliau tak mau dibantu. Digesernya kedua kaki sampai merasa enak. “Lutut ini sudah permakan. Harus mencari sela,” ujarnya sambil tersenyum.
Sampai di Pati pukul 21.00, Bu Nafsiah harus naik tangga ke lobi Hotel Safin. Saya ulurkan tangan lagi. Lagi-lagi beliau mengatakan, “Tahu saja.” Kali itu beliau tak bisa menolak. Malam itu Bu Dahlan hanya beristirahat enam jam. Pukul 03.00 harus bangun untuk memulai kegiatan selanjutnya.
Kegiatan Pak Dahlan memang begitu padat. Perjalanan semula hanya ke satu titik. Yaitu, Institut Pesantren Matholi’ul Falah di Purworejo, Margoyoso, Pati. Di situ beliau diminta memberikan kuliah umum dengan topik Santripreneur. Kemudian berkembang menjadi sepuluh titik. Di empat kabupaten: Ngawi, Blora, Rembang, dan Pati. Hanya dalam dua hari. Tanggal 19 – 20 November 2021.
Begitulah memang Dahlan Iskan. Tidak mau kesempatannya hilang begitu saja. “Saya mau mampir-mampir, agar lebih produktif,” alasannya.
Mula-mula mau lewat Semarang. Menggunakan jalur darat. Menyusuri jalan tol. Dari Semarang lanjut Kudus. Kemudian menuju Pati.
Sehari menjelang keberangkatan, saya mendapat kabar rute diubah. Dahlan ingin turun di exit tol Ngawi. Mau bertemu nenek moyang di Museum Trinil. Setelah itu, menyusuri jalan non tol menuju Blora, Rembang, dan titik terakhir di Pati. Pulangnya masih harus mampir di rumah seorang teman dan berziarah ke makam gurunya di Rembang.
Saya sudah bertekad untuk mendampingi guru saya sejak tahun 1985 itu. Saya sambut beliau di Cepu. Kebetulan Bupati Blora Arief Rochman juga melakukan hal yang sama. Menunggu di pinggir jalan menuju Cepu dari arah Ngawi. Saya bergabung.
Ketika Dahlan lewat, kami beriringan tiga mobil. Menuju Bandara Ngloram. Dahlan mengapresiasi bandara itu yang ruang tunggunya bernuansa hutan jati. “Kelak Blora yang semula pinggiran akan menjadi pusat,” kata Dahlan.
Dia memuji Bupati Arief Rochman yang dinilai visioner. (Mengenai kunjungan Dahlan dari awal sampai akhir bisa dibaca di Radar Kudus 20 – 21 November 2021).
Dari bandara, Dahlan menuju Pondok Sabilil Muttaqin (PSM) di Randublatung. Di situ bertemu lagi wanita hebat. Dia adalah Alifa Nur Fitri.
Bekali-kali Dahlan memujinya. PSM yang dipimpinnya berkembang pesat. Dalam waktu dekat akan dioperasikan Boarding School. Gedungnya sudah ada. Bahkan perlengkapannya termasuk tempat tidur untuk anak-anak. Dahlan menyarankan kamar mandinya pakai shower. “Bak itu sumber kotor, sumber penyakit,” kata Dahlan.
PSM itu satu grup dengan PSM di Magetan. Pondok ini beraliran tarekat Syatariyah. Didirikan oleh keluarga Dahlan. Kemudian berkembang di berbagai daerah. Di Randublatung namanya tetap pondok meski pesantrennya belum beroperasi.
Dari pondok itu, Pak Dahlan bersilaturrahim ke rumah Pramudya Ananta Toer. Beliau diterima adiknya Dr Soesilo Toer dan istrinya Suratiyem. Soesilo hidup sebagai pemulung. Istrinya tak pernah protes. Bahkan ketika Soesilo menceritakan hubungannya dengan wanita-wanita Eropa semasa kuliah, Suratiyem menanggapi dengan tersenyum.
Dari rumah Pramudya, Dahlan bersilaturrahim ke rumah KH Bisri Mustofa di Rembang untuk selanjutnya menuju Pati.
Di Pati, kegiatan dimulai pukul 03.00 hari Sabtu. Salat subuh di masjid Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa), berziarah di makam Mbak Mutamakin dan KH Sahal Mahfud, senam pagi ala Dahlan Iskan bersama mahasiswa, dan memberi kuliah umum.
Di Ipmafa itu, Nafsiah dan Dahlan sempat makan pagi di rumah KH Abdul Ghofarrozin M Ed. Mereka dilayani langsung Bu Nyai Tutik Nurul Jannah, istri Ghofarrozin. Beliau adalah wanita hebat. Menjadi penulis. Sudah menerbitkan dua buku fiqih sosial. Bersumber dari pemikiran Mbah Sahal. Di Ipmafa beliau menjadi dosen syariah.
Nyai Tutik yang dari keluarga pesantren di Kediri juga mengembangkan sekolah PAUD, TK hingga SD. Semuanya dalam wadah Annisma di mana beliau sebagai direkturnya. “Yayasannya berbeda dengan Ipmafa,” katanya ketika saya tanya.
Dari Ipmafa, Dahlan mampir di sekolah sepakbola milik Saiful Arifin, wakil bupati Pati. Itu bukan sekolah biasa. Di situ ada tujuh lapangan sepakbola berstandar internasional. Dahlan menyebut Safin – sapaan Saiful Arifin, edan beneran. Dari situ Dahlan selanjutnya balik ke Surabaya.
Begitulah di setiap kesuksesan seorang pria selalu ada wanita yang hebat. (*)