RADARSEMARANG.COM – Senyum ibu Sumiyati yang semula mengembang lebar tiba-tiba hilang. Bicaranya menjadi lirih. Diletakkannya kain batik di lantai. Teronggok bersama belasan kain batik tulis lainnya.
Perubahan gestur tubuh itu terjadi ketika dia menceritakan lesunya usaha batik tulis yang digeluti bersama anaknya, Samsul. “Dulu sempat mandeg,” ujarnya. Saya Manthuk-manthuk. Memaklumi apa yang terjadi pada masa puncak pandemi korona itu. Ketika itu, bahkan sampai sekarang, semua usaha tertatih-tarih. Apalagi batik tulis yang konsumennya khusus menengah ke atas.
Untuk bertahan hidup, dia membuka warung seblak dan angkringan. Memanfaatkan halaman toko batiknya yang lebih banyak tutup. Warung itu laris manis. Sayang, Samsul yang sehari-hari melayani warung itu harus sibuk dengan kelahiran anak pertamanya. Sumiyati ikut sibuk mengurus cucunya. Akhirnya warung itu ditutup.
Sudah lama saya mengenal Sumiyati. Dia tinggal di pelosok di Kecamatan Pancur, Rembang. Namun semenjak pandemi korona saya tak pernah ke rumahnya. Baru Jumat lalu saya ke sana bersama Manajer Keuangan Radar Kudus Etty Muyassaroh dan Manajer Keuangan Radar Semarang Indah Fajarwati.
Saya sengaja ke rumah Sumiyati sehari menjelang peringatan Hari Batik Nasional. Samsul didaulat untuk menjadi salah satu panitia. Dia sibuk mempersiapkan acara yang dilaksanakan oleh perkumpulan pembatik Lasem. Kegiatannya antara lain peragaan busana batik. Itu sekadar untuk menghidupkan semangat para pembatik.
Berkali-kali Sumiyati berterima kasih atas kedatangan saya. Lebih-lebih karena saya mengungkapkan selain bersiturrahim juga ingin mengganti seragam batik karyawan Radar Kudus dan Radar Semarang. Seragam kami yang lama memang masih baik. Karena batik tulis beneran. Bukan cap, colet, apalagi printing. Namun usianya sudah cukup tua. Lebih dari usia pandemi di negeri ini.
Radar Kudus memesan 75 potong dan Radar Semarang 90 potong. Masih ditambah beberapa potong untuk kepentingan khusus. “Tonggo-tonggo mesti seneng (Para tetangga pasti suka),” ujar Sumiyati yang belajar membatik kepada orang Tiongkok di Lasem. Para tetangga itulah yang mengerjakan batik milik Sumiyati. Mulai mencanting, mewarna, dan melorot (melepas) malamnya.
Konon, Batik Lasem dan Pekalongan dipelopori oleh kaum Tionghoa. Dulu mereka bikin sendiri untuk kalangan sendiri juga. Sama seperti batik yang berkembang di lingkungan keraton. Kemudian bekembang menjadi usaha. Mereka mempekerjakan kaum pribumi. Lama-lama mereka pintar membatik. Satu demi satu bisa mandiri. Menjadi pengusaha.
Meski batik sudah berkembang dengan berbagai tekniknya, Sumiyati konsisten dengan cara tradisional. Seluruh batiknya dicanting dengan tangan. Dia tidak tertarik untuk menggunakan cap. Semacam setempel untuk membuat motif. Apalagi menggunakan colet. Yaitu, batik printing yang beberapa bagian dilengkapi dengan batik canting.
Mestinya yang dinamakan batik itu seperti yang dibuat oleh Sumiyati. Namun belakangan batik sudah salah kaprah. Kain printing yang dicetak dengan mesin pun oleh orang awam disebut batik. Ini mengecilkan arti batik yang diklaim sebagai warisan budaya nenek moyang Indonesia.
Selain di Pekalongan dan Lasem yang mendunia, batik sudah berkembang di beberapa daerah di Jateng. Antara lain, Kudus, Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Magelang, Batang, Kendal, Semarang, Solo, Sragen, dan lainnya.
Jawa Pos Radar Kudus dan RADARSEMARANG.COM ingin menguri-uri warisan budaya nasional itu dengan mengenakan batik yang benar-benar batik. Meskipun batik itu dikenakan sekali dalam seminggu, tetapi bangga bisa melestarikannya. Biayanya memang mahal. Tetapi apalah artinya dibanding nilainya.
Kami lebih bangga lagi apabila karyawan di instansi baik pemerintah dan swasta juga mengenakan batik tulis (tentu yang asli). Itu sekaligus untuk menghidupkan ekonomi para pembatik yang selama musim pandemi ini kelimpungan. Mari larisi mereka. Selamat Hari Batik Nasional. (*)