29.9 C
Semarang
Sunday, 13 April 2025

Jangan Lagi Terlena

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Hari ini (6/9/2021), situasi Jawa Tengah berbeda jauh dengan sebelumnya. Seolah-olah sudah tidak ada covid. Nyaris semua sekolah melaksanakan PTM (pembelajaran tatap muka). Mal dan pasar telah buka. Sudah banyak kantor yang WFO (work from office), rumah makan melayani pembeli. Pedagang kaki lima bertebaran di mana-mana.

Keponakan saya girang ketika mendapat pemberitahuan bahwa hari ini mulai masuk sekolah. Segera dia bongkar seragam yang telah tersimpan setahun. Semua dia coba. Berkali-kali. Rok abu-abunya ngapret (sesak). Sulit untuk bergerak. “Badanmu sih tetap. Rokmu yang mengkeret (mengecil),” kata saya berkelakar.

Seragam itu untuk kelas 10 SLTA. Sedangkan sekarang dia sudah kelas 11. Sejak mendapat jatah dari sekolah, seragam itu belum pernah terpakai. Dibuka pun belum. “Untung ada yang mau gantiin,” katanya tertawa. “Berapa?” tanya saya. “Rp 60 ribu,”  jawabnya dengan tawa yang semakin  keras. Padahal dia harus mengganti biaya ke sekolah Rp 1.600.000 untuk seluruh seragam, dan perlengkapan lainnya.

Dengan dimulainya PTM itu saja ekonomi sudah bergerak. Ibu-ibu sibuk berburu seragam dan alat tulis untuk anaknya. Bedak di pasar dan toko-toko ramai. Ojol mendapat pekerjaannya lagi. PKL yang biasa mangkal di dekat sekolah bisa berjualan lagi. Belum lagi beroperasinya kantor, dan mulai normalnya seluruh aktivitas masyarakat.

Dulu ketika covid mulai merajalela, banyak istilah bermunculan. Dipopulerkan oleh para pejabat, termasuk presiden. Mulai dari OTG, ODP, PSBB, sosial distancing, lockdown, ora wedi (tidak takut), lawan corona, kebiasaan baru, hidup damai dengan corona, dan sebagainya.

Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas virus mematikan tersebut. Dulu, jalan-jalan raya disemprot dengan disinfektan. Demikian juga tempat-tempat umum, seperti mal, taman, rumah makan, sekolah, masjid, gereja, dan angkutan umum. Mobil pribadi yang masuk sebagian kantor pun harus mandi cairan pembunuh kuman itu. Akhirnya juga behenti dengan sendirinya tanpa keterangan bisa memberantas virus atau tidak.

Banyak tindakan yang salah kaprah. Yang penting memenuhi perintah. Lihat saja. Sekarang orang lebih patuh mengenakan masker di jalan. Bukan di rumah, di kampung-kampung, atau di pertemuan-pertemuan warga. Wajar. Dulu polisi, tentara, satpol PP diturunkan menindak pengguna jalan yang tidak bermasker. Ada yang disuruh push up, membeli tanaman, dan membayar denda. Saya juga sering kena bentak petugas meskipun berkendaran seorang diri di mobil.

Sampai sekarang kita juga tidak tahu apakah corona menyerang anak-anak atau tidak. Dari berbagai keterangan, sedikit sekali anak-anak yang menjadi korban. Apalagi sampai meninggal. Tetapi ketakutan sudah amat sangat. Seluruh murid dibelajardaringkan. Selama hampir satu setengah tahun. Belum terdengar solusi bagaimana mengatasi ketertinggalan pelajaran selama itu.

Kini pandemi corona belum berlalu. Angka kasus masih terus meningkat. Di Indonesia pertambahannya 6.000 lebih setiap hari. Kematian membengkak 500 lebih setiap hari. Jangan sampai kita merasa hidup ini sudah aman.

Meskipun angka covid sudah melandai dan speaker-speaker di masjid tidak lagi setiap hari mengumumkan kematian, kita harus terus waspada. Sosialisasi perlu dilakukan terus-menerus dengan berbagai cara. Melalui berbagai media. Ini harus menjadi fokus agar masyarakat tidak terlena, seperti Lebaran lalu yang kemudian menghebohkan.

Masyarakat masih perlu terus dibiasakan agar melakukan tindakan-tindakan yang masuk akal. Kebiasaan prokes terus dijaga. Pemerintah melaksanakan program yang efektif. Tidak lagi menggerojokkan anggaran untuk program yang mestinya tidak perlu. Tidak lagi eforia refocusing.

Kita galang kembali partisipasi masyarakat yang sudah berhenti agar gotong royong tetap menjadi tulang punggung pembangunan. Kita hidupkan kembali kegiatan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah lama mati suri. Agar hidup ini bergairah lagi. (*)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya