RADARSEMARANG.COM – Sepuluh tahun saya belajar di lembaga pendidikan keguruan. Sejak tahun pertama 1980 sudah dijejali konsep-konsep dasar kependidikan. Meliputi pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Belakangan baru saya tahu, aspek-aspek pendidikan itu merujuk pada Taksonomi Bloom. Dimunculkan oleh Benjamin Samuel Bloom (1913 – 1999). Seorang psikolog dari Amerika Serikat. Bukunya Taxonomy of Educational Objectives: The Classification Goals sangat terkenal. Menginspirasi dunia pendidikan di seluruh dunia.
Bagi orang yang mengamati proses pendidikan, bisa menangkap dengan jelas penerapannya tak lagi konsisten. Bahkan amburadul. Aspek afektif dan psikomotor cenderung ditinggalkan. Bahkan aspek kognitif tidak tersentuh sebagaimana mestinya.
Sekolah daring yang berlangsung setahun terakhir tidak bisa menyentuh ketiga aspek secara baik. Anak memang tetap dibekali pengetahun. Ada proses belajar-mengajar. Ada tatap muka antara guru dan murid. Ada juga evaluasi. Bahkan ada rapor dan ijazah. Tetapi, menurut saya, semua itu semu.
Boleh jadi anak mendapat rapor baik. Mereka naik kelas. Bisa juga mereka lulus dan mendapat ijazah dengan nilai sempurna. Mereka diterima di lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Namun belum tentu mereka mendapat ilmu sesuai yang dijabarkan dalam kurikulum. Apalagi berubah sikap dan keterampilanya menjadi lebih baik.
Setiap kali saya memperhatikan anak-anak yang belajar daring, setiap kali itu pula melihat proses pendidikan yang pura-pura. Anak-anak pura-pura tampil dengan baik. Demikian juga gurunya. Evaluasinya juga sekadarnya. Guru memberi tugas. Anak mengerjakannya.
Memang ada perubahan sikap dan keterampilan yang jelas. Setiap kali mendapat tugas dari guru, mereka cekatan mencari mbahnya. Mbah Google. Benar atau tidak jawaban mbah Google itulah yang disetorkan pada gurunya. Ukuran anak bukan lagi memahami materi pelajaran. Melainkan mengerjakan tugas yang banyaknya bajibun.
Itu baru menyangkut aspek kognitif. Aspek afektif dan psikomotor bisa lebih mengerikan. Karena tidak terjadi interaksi antara pendidik dan anak didik. Kasihan Ki Hajar Dewantara, bapak Pendidikan Indonesia. Beliau yang mengembangkan prinsip ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Aspek katerampilan bukan hanya pelengkap kognitif. Melainkan sebagai kunci juga. Ketika ada sahabat yang ingin belajar salat, Nabi Muhammad tidak mengajari teori dan tata cara. Beliau hanya mengatakan shollu kama roaitumuni usholli (Salatlah sebagaimana saya salat).
Sekarang anak-anak tak bisa lagi menirukan guru-gurunya. Lantas guru tak lagi bisa diartikan digugu dan ditiru.
Dalam kondisi seperti itu bagaimana bisa terjadi revolusi mental seperti seruan yang pernah viral beberapa waktu lalu. Mudah-mudahan ke depan yang terjadi tidak malah sebaliknya, penurunan sikap mental generasi muda. Di sini kita semua wajib merenung kemudian berani mengambil sikap.
Pikiran para pengambil kebijakan memang baik. Tidak ingin anak-anak menjadi korban covid. Tetapi, kepentingan yang lain minta perhatian.
Sekarang akses ekonomi sudah dibuka. Pabrik tidak pernah tutup. Pedagang kaki lima sudah dibebaskan berjualan. Tempat-tempat wisata diam-diam juga sudah melayani pengunjung. Namun, akses pendidikan masih tertutup.
Banyak anak yang bosan di rumah. Orang tua sudah jenuh melihat anak-anaknya seperti itu. Saya kira guru-guru juga sudah bosan mengajar secara daring. Karena model pendidikan seperti itu tidak akan efektif.
Para pengelola pendidikan swasta sudah pada nekat memasukkan anak didiknya ke ruang kelas. Dan, inilah yang paling masuk akal. Sekolah harus segera dilakukan tatap muka lagi. Toh selama ini kecil sekali kasus covid menyerang anak-anak.
Kalau masih dikhawatirkan terjadi penularan covid di sekolah tentu banyak cara untuk menangkapnya. Misalnya, dengan memfokuskan vaksinasi, swab, dan prokes di sekolah. Kalau perlu tempatkan tenaga kesehatan di setiap sekolah.
Semoga anak-anak segera bisa sekolah lagi. (*)