28.4 C
Semarang
Sunday, 22 June 2025

Bisnis tanpa Modal: Cerdas dan Kreatif

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Seorang teman membeli kain batik tulis Lasem tiga warna. Saya tahu persis harganya Rp 350 ribu. Kain yang hanya terbungkus plastik itu dikemas ulang. Dimasukkan kotak berpenutup mika tembus pandang. Barang itu akan dipadukan dengan kue kering. Toplesnya dihias eksklusif.

Selembar batik dan dua toples kue kering itu kemudian dimasukkan boks yang bernuansa etnik. Dihiasi bunga buatan warna coklat. Kemudian diikat dengan pita. Jadilah suvenir yang eksklusif. Dia menjualnya Rp 1,5 juta. Sudah ada pemesannya.

Seorang lainnya membeli berbagai macam kue kering dari sebuah toko secara kiloan. Ada nastar, blueberry thumpin, kastengel, dan lainnya. Dia kemas ulang secara eksklusif. Toplesnya dihias. Kemudian barang-barang itu dijual lagi sebagai hidangan lebaran. Promonya gencar. Gambar-gambarnya kelihatan berkelas didominasi warna emas.

Kemarin seorang teman juga membeli sebelas sarung batik. Yang delapan masing-masing seharga Rp 160 ribu. Yang tiga lembar masing-masing Rp 180 ribu. Barang itu kemudian dia jual lagi. Harganya Rp 400 ribu per lembar di atas harga beli. Tanpa ada kemasan ulang. Hanya dibungkus begitu saja untuk dipaketkan.

Sarung itu dia beli atas pesanan orang Jakarta. Pembeli yang, katanya, temannya itu juga memesan sebelas hijab dengan berbagai warna. Teman saya mengambilkannya dari Kudus. Harganya masing-masing Rp 60 ribu. Kemudian dilabeli ulang Rp 100 ribu. Pembelinya juga sepakat. Tiga hari lagi kedua jenis barang itu dikirim untuk dibagikan kepada relasinya.

Orang pertama dan kedua mendapat keuntungan sangat banyak. Sedangkan orang ketiga mendapat keuntungan banyak, tetapi lebih sedikit dibanding orang pertama dan kedua. Prospeknya juga tidak panjang. Suatu saat pembeli juga bisa mendapatkan barang yang sama di tempat asalnya. Tentu dengan harga yang lebih murah dibanding yang dia beli sebelumnya.

Belakangan banyak orang yang berbisnis seperti itu. Mereka menjual barang, tetapi tidak perlu memproduksi. Cukup membeli dari tempat lain. Kemudian mengemas ulang secara eksklusif dan kelihatan berkelas. Pembeli pun merasa puas. Karena yang dibutuhkan tidak sekedar barang melainkan juga kemasan. Apalagi untuk diberikan kepada orang lain. Yang penting terlihat eksklusif dan berkelas.

Banyak produsen barang yang menjual tanpa merek yang sudah dipatenkan. Itu memberi peluang kepada orang lain untuk mengemas ulang dengan label miliknya. Keuntungannya bisa jauh lebih besar dibanding produsennya.

Begitulah kondisi bisnis di dunia maya sekarang. Terutama menjelang Lebaran. Bahkan banyak reseller yang comot sana sini. Kemudian menjualnya ke tempat lain. Soal harga yang penting sepakat dengan pembeli. Tetapi tipe yang satu ini tidak akan berkembang seperti yang punya brand, kemasaran, serta strategi pemasaran sendiri.

Banyak pemegang merek luar negeri bermain seperti itu. Mereka menggandeng pengusaha-pengusaha lokal. Produksinya dilakukan di dalam negeri. Tetapi yang punya akhirnya orang asing. Merekalah yang punya brand. Memiliki sistem dan strategi pemasaran. Produsen tetap merasa senang karena tidak perlu melakukan pemasaran kepada end user yang sering berbiaya tinggi. Pebisnis pemula bisa meniru mereka. Contohnya sudah banyak yang berhasil.

Kunci dari bisnis seperti itu adalah kecerdasan dan kreativitas. Dia pandai membaca peluang. Bisa memetakan barang yang lagi ngetren di pasaran. Tahu produsen yang membuatnya beserta detil barang dan harganya. Kemudian menciptakan kemasan yang bagus dan brand yang yang bisa diterima pasar. Toh pasar tidak pernah mengurus dari mana asal barang tersebut. (*)

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya