RADARSEMARANG.COM – “Harga cabai naik tidak masalah, saya tetap bisa menikmati omelan istri.” Pernyataan itu menyertai gambar seorang laki-laki kurus beradu punggung dengan wanita gendut yang cemberut. Laki-laki itu tertawa. Itulah salah satu karikatur yang beredar minggu lalu. Pedesnya bukan main. Lebih pedes dari harga cabai itu sendiri. Melebihi omelan ibu tiri.
Minggu lalu itu harga cabai melambung ke awang-awang. Banyak orang kesulitan menggapai. Di beberapa tempat ada yang mencapai Rp 140 ribu per kilogram. Lebih tinggi dari harga daging sapi yang hanya sekitar Rp 120 ribu per kilogram.Harga yang membumbung itu menyertai langkanya cabai di pasaran. Meski demikian, tak ada orang yang kesulitan makan lantaran tidak bisa membeli cabai. Apalagi sampai kelaparan. Kalaupun banyak orang yang menjerit, hanyalah sebagai ekspresi liar. Kritik yang berseliweran pun berlalu begitu saja.
Naik-turunnya harga cabai sudah biasa. Terjadi setiap musim. Saya masih ingat ketika kecil sempat membantu orang tua menanam cabai. Sore memanennya. Paginya menjual ke pasar. Membawa dengan sepeda pancal. Tiga karung sekaligus. Beratnya sekitar satu kuintal. Jarak pasar dengan rumah sekitar 10 kilometer.
Ketika harganya mencapai Rp 1.000 per kilogram, girangnya bukan main. Barang cepat laku. Pulang dari dari pasar makan enak. Njajan sarapan lodeh tewel lengkap dengan tahu, tempe, dan sepucuk jari daging sapi. Bagi saya saat itu, makanan itu sudah mewah.
Suatu saat harga jatuh. Hanya sekitar Rp 100 per kilogram. Mancal sepeda rasanya berat sekali. Terkadang dari pasar langsung ke sekolah masih membawa karung goni, wadah cabai. Tidak pulang. Apalagi mandi dan sarapan. Ketika harga jatuh itu barang justru sulit laku. Lama menunggu di pasar. Maklum barang membanjir.
Orang bisa saja seenaknya ngomong ini-itu. Petani selalu terjepit. Ketika harga tinggi seperti sekarang, mereka tak bisa menikmati. Panennya gagal karena hujan yang ekstrem. Barang menjadi langka. Setinggi apapun harga, petani tetap menjerit. Sama dengan konsumen. Pedasnya melebihi cabai itu sendiri.
Harga cabai sekarang berbalikan dengan harga gabah. Di mana-mana makanan pokok masyarakat itu anjlok. Ada yang mencapai Rp 3.000 per kilogram. Jauh di bawah harga terendah yang dipatok pemerintah yaitu Rp 4.200 per kilogram. Ironisnya harga beras di pasaran tetap tinggi.
Saat musim paceklik harga beras meroket. Buruh pabrik, pekerja bangunan, pedagang kaki lima, dan konsumen pada umumnya menangis. Ironis juga. Saat itu petani tidak menikmati. Barang mereka sudah habis. Bahkan beberapa saat setelah panen raya. Mereka butuh biaya untuk bertanam berikutnya.
Saya juga merasakan betul beratnya sebagai anak petani padi. Pagi bersekolah tanpa uang saku sepeserpun. Siang harus ke sawah membantu orang tua sampai menjelang maghrib. Mencangkul, menyemai bibit, bertanam, menyiangi rumput, sampai memanen. Malam kadang harus begadang mengairi tanaman atau menjaga hasil panen sebelum dibawa pulang.
Begitulah hidup sebagai petani, serba salah. Saat harga tinggi, barang tidak ada. Ketika panen raya, harga jatuh. Memang sulit, sama sulitnya dengan para pengamat, politikus, dan para pengambil kebijakan. Impor beras, apalagi cabai, semakin membunuh petani. Tidak impor semakin menyulitkan konsumen. Menerima kenyataan bukan solusi.
Hidup memang tidak gampang. Ketika ada orang yang bersenang hati, saat itu justru ada yang sakit hati. Ketika ada yang berpesta, ada juga yang menderita. Manakala ada yang menari-nari dia atas angin, saat itu juga ada yang jatuh tertimpa tangga.
Sikap yang paling bijak adalah menyadari semua itu kehendak Tuhan. Bila sedang enak bersyukur. Bila menderita tawakal. Tidak malah saling menyalahkan. Apalagi merasa benar sendiri seperti teroris yang kemarin mengebom Gereja Katedral Makassar. Hidup harus bertawadhuk. (*)