RADARSEMARANG.COM – Dua kali saya bertemu dan mengobrol dengan Bupati Semarang Ngesti Nugraha. Pertama, setelah dia memenangkan pemilihan bupati. Kedua, Selasa (9 Maret) minggu lalu. Sebelas hari setelah dia dilantik. Tak ada yang berbeda. Dia tetap menunduk mendengarkan lawan bicaranya. Saya merasa terhormat bisa berbincang di ruang kerjanya.
Selasa pagi itu saya bersama seluruh manajer RADARSEMARANG.COM juga diterima oleh Bupati Kendal yang baru Dico Mahtado Ganindito. Beliau yang masih muda menduduki kursi yang ditinggalkan Mirna Annisa. Dari Kendal langsung meluncur ke Ungaran. Pak Ngesti memberi waktu pukul 12.30, saat para karyawan beristirahat.
Saya punya kesan yang mendalam pada Pak Ngesti. Ketika bertemu di rumah pribadi setelah pemilihan bupati, tamunya banyak sekali. Jalan di depan rumah penuh meja-kursi tamu seperti jamuan pengantin di desa. Mereka berasal dari berbagai pelosok Kabupaten Semarang. Silih berganti. Ngesti tak bisa berlama-lama njagongi tamunya. Harus berpindah dari satu meja ke meja lain.
Perhatian warganya akan dia tebus. Sudah diprogramkan untuk tidur di kampung. Berganti-ganti. Sambil ngopi-ngopi. Ngobrol bersama warga. Di situ dia menyerap aspirasi. Memecahkan persoalan bersama warga. “Silakan kalau mau ikut,” ujarnya. Saat itu saya menyodorkan Maria Novena, wartawati Radar Semarang yang sehari-hari bertugas di Kabupaten Semarang.
Ngesti menyadari membangun Kabupaten Semarang tidak gampang. Apalagi sekarang. Di saat pandemi korona masih berlangsung. Semua pembiayaan dipangkas. Kegiatan dibatasi. Harus ada cara untuk menyiasati. Untungnya, dia sudah paham betul problematika daerahnya itu.
Ngesti bukan orang baru. Sebelumnya, dia sudah menjadi wakil bupati mendamipingi Mundjirin. Sebelumnya lagi, dia menjadi anggota dewan yang menggodok, dan mengesahkan rencana pembangunan daerah. Salah satu persoalan utama adalah ketimpangan. Perbedaan kemajuan di belahan utara dan selatan.
Ngesti menyebut istilah lor kali kidul kali. Yang dimaksud adalah wilayah-wiayah di utara sungai Tuntang, dan di selatan sungai itu. Sungai Tuntang sepanjang 100 kilometer lebih membelah Kabupaten Semarang. Berhulu di Rawa Pening, Ungaran, dan bermuara di Demak.
Wilayah-wilayah selatan sungai umumnya tertinggal. Seperti di Kecamatan Tuntang, Banyubiru, Pabelan, Bringin, Bancak, Suruh, Tengaran, Susukan, dan Kaliwungu. Sampai-sampai warga merasa dianaktirikan oleh pemkab.
Ada anekdot, warga kidul kali lebih merasa sebagai warga Boyolali atau Salatiga. Untuk urusan pendidikan dan kesehatan, mereka pergi ke sana. Lebih dekat. Demikian juga ketika berbelanja.
Selama kepemimpinan Ngesti nanti diharapkan tidak ada lagi istilah lor kali kidul kali. Visi seperti ini mestinya juga ditonjolkan oleh seluruh kepala daerah lain, dan para pejabat di bawahnya. Janganlah pembangunan hanya dinikmati oleh orang-orang kota. Sedangkan masyarakat desa yang setiap hari banting tulang hanya kebagian lelahnya.
Kabupaten Semarang memang unik. Daerah itu harus berpisah dengan Kota Semarang yang sudah merangkak maju. Ibu kotanya menyingkir ke Ungaran. Bahkan Salatiga yang menunjukkan kemajuan juga harus berdiri sendiri. Kini, Kota Salatiga berada di tengah Kabupaten Semarang. Yang tersisa wilayah-wilayah pedesaan.
Ngesti sudah menyiapkan strategi. Kalau tidak berhasil paling tidak sudah memulai. Yaitu, memindahkan ibukota dari Ungaran ke Bawen atau Tuntang yang berada di tengah. Dengan demikian seluruh masyarakat bisa mengakses pusat pelayanan dengan mudah. Tak ada lagi yang merasa dianaktirikan. Pemerintah kabupaten juga bisa memberi perhatian masyarakat lebih merata.
Sebagai daerah yang dulu menyatu dengan Kota Semarang dan Kota Salatiga, mestinya Kabupaten Semarang sudah maju. Setidaknya sejajar dengan kedua saudaranya itu. Saya amat yakin Pak Ngesti memiliki jurus ampuh untuk menebus ketertinggalannya itu. Sehingga ketiga daerah sejajar. Bahkan terintegrasi.
Hari ini (14/3/2021), saya ingin menghadap lagi ke Pak Ngesti. Memberi ucapan selamat ulang tahun ke-500 Kabupaten Semarang. Semoga sukses menggapai cita-citanya. (*)