RADARSEMARANG.COM – Jumat (5/3/2021) minggu lalu saya mendapat kesempatan bersilaturrahim dengan Bupati Wonosobo H Afif Nurhidayat S.Ag, dan Wali Kota Magelang dr H. Muchamad Nur Aziz Sp.PD. Rencana pertemuan agak molor sedikit. Saya pergunakan untuk makan mi ongklok yang khas daerah Pegunungan Dieng. Tidak seperti mi lainnya. Kuahnya kental menggunakan tepung tapioka.
Saya diterima di pendopo kabupaten yang masih tampak kuno. Cat pintu dan kusennya hijau. Diberi strip kuning. Setelah menunggu beberapa saat seorang pria muncul dari sayap kanan. Mengenakan sarung putih motif abu-abu. Bajunya koko putih. Bersandal kulit dan berkopiah hitam.
Saya betul-betul tak mengira kalau lelaki itu bupati Wonosobo yang baru. Kepala Biro Magelang Listyorini memberi tahu. Orangnya ramah. Senyumnya mengembang. Dia mengulurkan tangan. Saya sambut dengan tangan menggenggam, khas salaman Covid-19.
“Bapak akan berkhotbah,” tanya saya. Saat itu memang hari Jumat. Sudah pukul 10.00 lebih sedikit. “Hari ini tidak. Jadwal saya sudah minggu lalu,” ujarnya dengan tersenyum.
Dia mengenakan sarung karena habis takziah. Menemui saya, dan rombongan sebelum sempat berganti celana.
Pak Afif sangat egaliter. Sama sekali saya tidak menangkap kesan jaim (jaga image). Dia politikus yang sudah lama malang melintang di DPRD Wonosobo. Dua kali menjajal perebutan kepala daerah, dan pada Pilkada 2020, ia berhasil menjadi bupati Wonosobo berpasangan dengan Muhammad Albar. Beliau sangat mengerti orang lain.
“Barusan saya WA selamat pagi beliau sudah menjawab apa yang saya inginkan,” ujar Listyorini berkesan.
Pendukung Afif merasa bangga atas kehangatan pimpinan daerahnya. Mereka merasa betul-betul punya bupati. Kepala daerah yang merakyat. Punya visi. Afif sudah tahu segala persoalan yang ada di wilayahnya. Kini beliau tinggal memanfaatkan semua potensi. Menggerakan stakeholder yang ada. “Semoga diberi kesehatan, kekuatan, dan sukses memimpin Wonosobo,” kata saya kepada Pak Afif.
Dari Wonosobo saya meluncur ke Kota Magelang. Lewat jalur alternatif. Menerobos kaki gunung yang hutannya masih hijau. Wali kotanya baru. Seorang dokter spesialis penyakit dalam. Namanya Muchamad Nur Aziz. Sebelumnya saya pernah bertemu di rumahnya. Hanya beberapa hari setelah beliu memenangkan pemilihan kepala daerah.
Kabarnya beliau masih ingin praktik sebagai dokter. Sebagai wujud pengabdian. Demi kemanusiaan. Tentu di sela kesibukannya sebagai wali kota. Selama ini intergritasnya di dunia kedokteran sudah dibuktikan. Sampai beliau memiliki rumah sakit.
Wali kota yang ini lebih egaliter lagi. “Tulis Magelang supaya lebih terkenal,” pintanya. “Jangan tulis wali kotanya. Saya tidak perlu terkenal,” tambahnya.
Siang itu, dia mengenakan celana krem. Berbaju putih. Saat kami datang beliau masih menerima Ikatan Dokter Indonesia Kota Magelang.
Sejatinya Magelang itu sudah terkenal. Jauh dibanding Semarang. Namun belakangan ketinggalan. Padahal potensinya luar biasa. Pak Aziz ingin menggunakan sektor wisata sebagai senjata. Beliau merasa daerah itu perlu diangkat lebih tinggi lagi ke permukaan.
Ketika kami mau menyerahkan bunga sebagai tanda ucapan selamat atas pelantikan dirinya, Pak Aziz hendak menolak. Dia khawatir pemberian seperti itu bisa berlanjut. Menjadi gratifikasi. Itu dilarang. Namun, akhirnya beliau mau menerima. Bunga yang kami berikan tidak besar. Harganya juga tak seberapa.
Yang beliau betul-betul tidak berkenan apabila ucapan selamat itu menggunakan kue. Baginya itu tidak perlu. Toh kue itu juga tidak akan dimakan oleh dirinya. “Untuk apa kue,” ujarnya.
Keegaliteran Pak Aziz ditunjukkan ketika saya dan teman-teman manajer Radar Semarang akan pamitan. Beliau minta kepada stafnya agar deretan kursi pimpinan di pendopo diubah. Kursi itu berderet di atas panggung lebih tinggi dari lantai audien. Saya perhatikan jaraknya dengan audien lebih lima meter. Dia minta agar kursi pimpinan diturunkan ke lantai sejajar dengan audien. “Biar menyatu,” katanya.
Saya bangga memiliki bupati dan wali kota yang egaliter seperti Pak Afif dan Pak Aziz. Merakyat. Menyatu dengan masyarakat. Melayani dengan hati nurani. Inilah yang diperlukan di negeri ini. (*)