RADARSEMARANG.COM – Awal tahun 90-an:
“Kus — begitu Prie GS biasa memanggil saya— menurutmu, kamu itu cerdas atau tidak,” tanya mas Prie GS.
“Tidak Mas,” jawab saya sungguh-sungguh.
“Kamu bisa nggak, untuk seolah-olah cerdas, dan orang mengira kamu cerdas beneran?”
Saya agak kesulitan menjawab, tapi tetap saya jawab: “Saya akan senantiasa goblok kayaknya Mas..”
“Kus, kesan cerdas itu penting. Percuma jadi orang pinter tapi kelihatan bego melulu. Itu menjengkelkan.”
“Iya Mas Prie,” jawab saya.
“Tidak mudah memang, kelihatan cerdas, apalagi terus-menerus… (Mas Prie ketawa keras, seperti biasanya).
“Iya Mas,” dalam hati saya juga ketawa-ketawa hehehee… Mas Prie meminta saya: gimana caranya kelihatan cerdas seumur-umur, dong. Terus kapan ada kesempatan bego untuk saya. Asli bego, maksud saya.
*
Di waktu lain, saya diberi pitutur ini:
“Banyak kegagalan dan kesulitan terjadi hanya gara-gara orang tidak baik dalam membawa diri. Jadi, yang terpenting, kadang-kadang cuma sopan-santun, Kus. Yang lain hanya nomor berikutnya…”
“Ya Mas Prie.”
Saya selalu menyiapkan banyak kata “iya” untuk Prie GS, mas saya, yang begitu besar perhatiannya pada saya.
*
Semarang sore hari:
Saya diajak keliling kota berdua. Naik mobil Jimny bak terbuka kesayangannya. Ban-nya gede-gede, menonjol keluar dari body mobil. Rambut Mas Prie yang gondrong, membuat saya yang duduk di sebelahnya —yang sedang menjadi mahasiswa STKIP PGRI Semarang— berangan-angan tinggi: kelak, saya akan bekerja pada perusahaan media besar seperti Suara Merdeka, seperti kantor tempat Mas Prie bekerja. Punya mobil, dan menjadi seniman. Sebagai mahasiswa keguruan, saya merasa tidak sanggup mengajar di depan kelas seperti bapak saya yang seorang guru SD, dan berharap anaknya jadi guru juga.
Setelah berputar di Simpang Lima, mobil berhenti di tempat parkir SMA Negeri 1 Semarang. Mas Prie telah ditunggu banyak siswa-siswi SMA top itu karena harus berlatih bersama teater Lingkar untuk sebuah pementasan. Ketika teater Lingkar tampil di auditorium RRI, saya membanggakan Mas Prie seperti kakak kandung saya sendiri, yang menulis naskah begitu hidup, dan lucunya membuat saya terkaget-kaget. Kakak saya Prie GS, humornya autentik, sens politiknya tajam, jalan pikirannya runut seperti naskah teater yang dipentaskan Lingkar.
*
Malam hari kuliah, siang hari saya bekerja di pabrik mebel di daerah Mangkang, Semarang barat. Malam Minggu dan minggu siang, saya nyambi melukis kartu-kartu ucapan bersama beberapa teman kartunis Semarang di trotoar samping pintu masuk restoran OEN yang eskrimnya begitu terkenal —dan saya belum pernah merasakannya sampai hari ini. Duit hasil jualan lukisan kartu-kartu ucapan ulang tahun itu terasa terlalu berharga buat secontong es krim. Lebih baik saya buat beli beras, mi instan, atau telur, untuk mencukupi kebutuhan makan saya sehari-hari. Mas Prie sepertinya memperhatikan kesulitan hidup saya. Maka, saya pun diberi kesempatan membuat karikatur, menulis artikel budaya di Suara Merdeka secara freelance. Karya-karya saya termuat di Suara Merdeka, koran nomor satu di Jawa Tengah itu, seperti lewat jalur perhatian dan “welas asih” khusus dari redakturnya yaitu Mas Prie GS. Honor yang saya terima, sungguh seperti bantuan penyelamat yang menghindarkan saya dari ancaman lapar dari waktu ke waktu sebagai anak kost. Di kesempatan lain, Mas Prie terus mendorong saya untuk melihat banyak pertunjukan seni. Juga bergaul dengan pekerja seni. Suatu kali saya dan Mas Prie ke Jogja untuk bareng-bareng nonton pertunjukan teater Gandrik. Di saat perjalanan pulang menuju Semarang, saya di-drop di rumah seniman Tanto Mendut di Magelang. Saya diminta menunggu tulisan resensi pementasan Gandrik yang Tanto buat dan besoknya harus saya bawa ke redaksi Suara Merdeka di Kaligawe. Sehari semalam bersama Tanto di rumahnya, sungguh kenangan 24 jam bersama seniman paling sableng dan edan yang cerdasnya nggak ketulungan.
*
Jelang tengah malam, 13 Juli 1994:
Berbekal map berisi kumpulan karya-karya karikatur dan tulisan yang telah diseleksi Mas Prie dan dimuat di Suara Merdeka, saya naik bus ke Surabaya mendatangi redaksi harian Jawa Pos di Jalan Karah Agung 45, dengan maksud melamar kerja sebagai karikaturis, atau apa saja, asal saya bisa diterima bekerja.
Di ruang lobi redaksi, map saya taruh di atas meja. Hari masih pagi, kantor belum banyak orang, saya duduk sendirian. Kira-kira jam 07.00 pagi, seseorang lewat dan menghampiri saya yang duduk di lobi, sendirian.
“Mau ketemu siapa?”
“…” saya belum menjawab.
“Itu apa,” tanya pria enerjik itu sambil menunjuk map di depan saya.
“Gambar karikatur, pak,” jawab saya.
Setelah gambar-gambar karikatur dilihat, map ditutup, dilempar di atas meja.
“Kamu mau, kerja mulai hari ini?”
“Mau Pak!” jawab saya sambil kaget.
Malam harinya saya langsung ditugasi oleh pak MG, sapaan Margiono pemimpin redaksi, untuk membuat karikatur. Pria enerjik itu adalah yang di waktu berikutnya baru saya tahu: Dahlan Iskan, bos Jawa Pos.
*
Mas Prie terus membuat karikatur di Suara Merdeka, saya akhirnya membuat karikatur di Jawa Pos. Sama-sama dalam kesibukan rutinitas pekerjaan koran, saya dan Mas Prie lama tak saling ketemu. Saya, malah, kecebur dalam rumitnya manajemen perusahaan media. Tidak lagi bisa setiap saat berkarikatur lagi.
Beberapa kali berjumpa, itupun tanpa sengaja. Karya, dan kreativitas Mas Prie GS-lah yang terus saya ikuti. Acaranya di televisi, di radio, dan akhir-akhir ini sibuk di media sosialnya.
*
Setahun lalu, saat reuni kartunis di Borobudur:
“Kus, coba kamu pikirkan, bidang apa yang paling kamu senangi, yang bisa kamu semai agar menjadi pemikiran berkembang untuk banyak orang,” pinta Mas Prie untuk saya renungkan.
“Kalau tentang seni bagaimana Mas?”
“Terserah, yang penting kamu senang dan bisa dimulai dari bentuk yang paling sederhana dan paling mungkin. Majelis-majelis pikir itu penting sekali. Itu yang sebenarnya menjaga kehidupan kita dari dulu dan nanti…”
“Iya Mas.”
*
“Mas Prie, maaf.. Saya belum bisa memulai apa-apa, meski sudah setahun lebih memikirkan ide Mas Prie yang terakhir itu.. (*)