31 C
Semarang
Monday, 16 June 2025

Pram, Tirto, dan Jurnalisme

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – “Jurnalisme membuat para pembacanya bisa menjadi saksi sejarah, karya fiksi memberi kesempatan kepada pembacanya untuk menghidupkannya.”

Begitulah kata John Hersey, penulis berkebangsaan Amerika kelahiran 1914. Dia banyak menulis reportase atau berita-berita yang berhubungan dengan perang-perang di dunia.

Di Indonesia, kita punya Pramoedya Ananta Toer.  Berbeda dengan John Hersey, Pram banyak melahirkan karya-karya berlatar sejarah Indonesia. Fakta-fakta sejarah ditarik Pram ke bentuk novel.

Novel karya Pram yang fenomenal dan bernas, yakni “Tetralogi Pulau Buru”. Itu adalah sebutan untuk empat judul novel karya Pram. Yakni, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Di luar negeri, Tetralogi Pulau Buru diterjemahkan dan diterbitkan dengan nama “The Buru Quartet”. Kisah dalam keempat novel itu berlatar awal Kebangkitan Nasional atau abad ke-20.

Mengapa disebut Tetralogi Pulau Buru? Karena beberapa tahap proses penciptaan novel itu, Pram kerjakan semasa ia ditahan di Pulau Buru oleh Pemerintah Orde Baru. Tanpa proses pengadilan. Pram berstatus sebagai tahanan politik (tapol).

Perjalanan Pram melahirkan karya agung itu diabadikan dalam buku “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer”. Buku itu disusun oleh August Hans den Boef dan Kees Snoek.

Lewat Tetralogi Pulau Buru itulah Pram menyajikan cerita yang membuka dan membangkitkan kesadaran bagaimana mestinya mental bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain dan bangsanya sendiri. Selain memuat gambaran praktik penindasan, rasialisme, diskriminasi, hegemoni kolonial, dan ketidakadilan, lewat karya itu Pram menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan.

Itu Pram tunjukkan lewat Minke, tokoh utama dalam Tetralogi Pulau Buru. Minke diceritakan sebagai Pemuda Jawa keturunan ningrat. Dia berpendidikan. Dikenal sebagai pemuda revolusioner, penentang diskriminasi dan ketidakadilan. Dari sekian banyak karakter yang melekat, satu yang tak bisa dilepaskan dari Minke, yakni menulis. Kekesalan terhadap praktik-praktik penindasan, diskriminasi, dan ketidakadilan, Minke tuangkan lewat tulisan.  Pendeknya, Minke banyak menulis untuk melawan.

Minke banyak menulis artikel. Tulisannya dikenal jujur dan tajam. Hingga meresahkan kekuasan. Sampai akhirnya Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menjatuhi hukuman kepadanya. Apapun keadaannya, di mana pun berada, Minke tetap menulis.

Ada yang berpendapat, termasuk adik Pram sendiri Soesilo Toer, Minke adalah sosok yang Pram munculkan untuk menggambarkan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.

Tirto, sama seperti Pram, lahir di Blora. Bedanya, Tirto lahir pada 1880, sementara Pram pada 1925. Mereka berdua sama-sama penulis. Sama-sama berbicara, dan melawan lewat tulisan. Sama-sama pernah menjalani masa pembuangan (pengasingan) di Maluku.

Tirto lahir dengan nama asli Raden Mas Djokomono. Pendapat yang mengatakan Tirto adalah Minke dalam Tetralogi Pulau Buru mungkin karena keduanya sama-sama melakukan kerja-kerja jurnalisme.

Jurnalisme yang mereka kerjakan bukan sembarang jurnalisme. Tirto dan Minke melakukan kerja-kerja itu dengan hati nurani.  Berangkat dari kecintaannya terhadap jurnalisme itu sendiri. Tidak heran jika hasilnya sama sekali tidak mencoreng marwah jurnalisme. Jujur, tajam, dan mengena. Soal teror, ancaman, dan hukuman, mereka tempatkan sebagai konsekuensi menjaga kejujuran dan marwah jurnalisme. Begitulah idealisme yang Tirto pegang hingga ia meninggal pada 1918.

Tak hanya lewat Tetralogi Pulau Buru, Pram juga mengabadikan Tirto Adhi Soerjo dalam buku karyanya berjudul Sang Pemula. Buku ini menceritakan sepak terjang Tirto membangkitkan bangsanya dari belenggu kolonialisme lewat menulis (jurnalistik).

Tulisan Tirto mulai dimuat di koran sejak ia masih bersekolah di School tot Opleiding Van Inlandsche Artshen (STOVIA), Batavia. Koran-koran terkenal kala itu seperti Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, dan Bintang Betawi, pernah memuat tulisannya.

Tirto kemudian bekerja di surat kabar Pewarta Priangan, dan tinggal di Bandung. Ketika surat kabar itu bangkrut, ia kembali ke Batavia dan bekerja sebagai redaktur di Pembrita Betawi. Pada 1902, ia menjabat sebagai pemimpin redaksi koran itu.

7 Februari 1903 Tirto melahirkan Soenda Berita, surat kabar pertama yang digawangi oleh tenaga-tenaga bumiputera. Bukan bernaung di bawah bangsa lain. Maka dari itu disebut sebagai tonggak sejarah pers nasional.

Soenda Berita bangkrut. Tirto melahirkan Medan Prijaji. Kali pertama terbit 1 Januari 1907. Pada 1908 baru resmi berbadan hukum. Perusahaan ini tak hanya menerbitkan Soenda Berita, tetapi juga Soeloeh Keadilan.

Lewat dua surat kabar itu gaung Tirto makin terdengar. Hingga ia dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang menyadarkan rasa berbangsa melalui produk jurnalistik. Ia juga yang memperkenalkan jurnalisme advokasi, membela kaum tertindas melalui surat kabar.

Nama Tirto hampir dilupakan. Tirto nyaris tidak mendapat tempat dalam catatan sejarah Indonesia. Beruntung, Pramoedya Ananta Toer mengenalkannya lewat Sang Pemula.

Pada 1973, Pemerintah mengukuhkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional (belum sebagai pahlawan). Baru pada 3 November 2006 Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional.

Kemarin, Selasa (9/2/2021), insan pers nasional memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Rasanya sia-sia, jika HPN hanya diperingati sebagai sekadar seremonial. Sepak terjang Pram dan Tirto bisa menjadi bahan renungan, bahan evaluasi untuk semua insan pers. Lawan Tirto kala itu adalah pemerintah kolonial yang culas. Sementara Pram tetap berani menulis meski dalam pengasingan. Itu menjadi bukti dua tokoh ini mampu melawan diri mereka sendiri. Melawan kemalasan, melawan ketakutan, melawan sikap inferior. Mereka menulis untuk kejujuran, untuk kebenaran fakta. Mari renungi dengan hati nurani.

Selamat Hari Pers Nasional. (*) 

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya