Oleh : Ahmad Kharis, MA
RADARSEMARANG.COM – Penduduk Indonesia punya peluang besar menghadapi musim penghujan dengan potensi curah hujan tinggi menimbulkan banjir. Mengapa demikian? Kepadatan penduduk berhubungan dengan peningkatan konsumsi masyarakat, bahwa produksi sampah sejajar sama banyak kuantitasnya. Selain itu terkait pengalihan fungsi dari hutan untuk pembangunan (Rachmat & Pamungkas, 2014). Kepadatan jumlah penduduk di suatu daerah akan menyebabkan banjir akibat populasi sampah dan pembangunan di lahan natural resource menghilangkan daerah serapan air.
Indonesia khusus Kalimantan Selatan terjadi konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit, tapi tidak seluas di Sumatera Selatan. Selain masalah teknis terganggunya saluran irigasi, perubahan lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit juga disebabkan oleh keuntungan yang lebih menjanjikan dan kebutuhan tenaga kerja yang lebih rendah untuk mengelola kebun kelapa sawit (Mulyani et al., 2016). Selain itu, dampak sosial menimpa masyarakat kecil berupa penerimaan ekses pengelolaan lahan oleh pemerintah ke perusahaan tanpa pertimbangan kesehatan ekologis yang cermat dan penuh kesadaran humanis.
Berbicara banjir ada kaitan erat kondisi sampah sekitar, pokok permasalahan ditengah masyarakat adalah buruknya edukasi berkelanjutan mengenai pengetahuan masyarakat dalam membuang sampah belum memadai dan sarana prasarana pengelolaan sampah jauh dari kata “proper” atau layak (Silalahi, 2017). Kebiasaan masyarakat Indonesia sangat buruk seperti membuang sampah ditepi sungai, melempar sampah ke kolong jembatan bahkan skala besar menimbun sampah untuk menggangu aliran sungai hingga menuju laut lepas (Widiarti, 2012).
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jumlah sampah Indonesia tahun 2019 mencapai 68 juta ton, dan sampah plastik diperkirakan mencapai 9,52 juta ton (Purwaningrum, 2016). Mengingat sifat sampah plastik akan terurai di tanah kurang lebih 20 tahun hingga paling ekstrem 100 tahun dapat menurunkan kesuburan tanah dan sulit terurai jika di perairan (Karuniastuti, 2013). Apabila semakin banyak jumlah sampah plastik yang diproduksi sampah rumah tangga semakin berpotensi banjir.
Padahal pemerintah sudah mengatur tentang lingkungan hidup terutama pengelolaan sampah/limbah rumah tangga melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Hasibuan, 2016). Setidaknya regulasi ini dibuat untuk dilaksanakan dan diimplementasikan masyarakat pada umumnya, namun realitas masyarakat belum bisa menerapkan kebijakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Praktik pengelolaan sampah rumah tangga yang baik sebagai contoh di Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan (Riswan et al., 2012) menjelaskan Aspek Kelembagaan bahwa keterlibatan lintas sektor (pemerintah, swasta dan masyarakat sipil) meliputi pengangkutan, pengelolaan dan pembuangan akhir. Aspek Hukum dan Peraturan, penyelenggaraan kebersihan lingkungan, ketentuan pembuangan dan pengelolaan sampah, retribusi sampah serta sanksi hukum. Aspek Teknis Operasional, pengetahuan masyarakat dan penerapan konsep 3R (Reduce, Reuse dan Recycle). Aspek Pembiayaan, pendanaan bersumber pada APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk menunjang kegiatan pengelolaan sampah. Terakhir Aspek Peran Serta Masyarakat, bagian penting dalam melaksanakan pengelolaan sampah sesuai dengan perencanaan yang dilakukan serta mengubah perilaku masyarakat berdasarkan pengetahuan, tindakan dan sikap.
Selanjutnya pokok permasalahan timbulnya banjir adalah berkurangnya daerah serapan air. Bertambahnya penduduk di suatu tempat akan mengurangi jumlah kawasan tanah sebagai serapan air hujan maupun air aliran sungai serta tanah serapan air. Meski problema banjir hanya terjadi saat musim hujan tiba, jika tidak segera dibenahi banyak aspek akan menghambat aktivitas warga sehari-hari.
Beberapa pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengunjungi Kalimantan Selatan untuk memantau kondisi masyarakat korban banjir. Beliau menyampaikan sejumlah infrastruktur sungai mengalami kerusakan, debit air sungai barito sangat tinggi mengalami peningkatan sebesar 2,1 milyar kubik yang sebelumnya 230 juta kubik (KompasTV, 2021). Sebagai catatan analisis curah hujan tinggi mendatangkan banjir besar di Kalimantan Selatan pada periode 50 tahun terakhir. Banjir parah yang melanda beberapa daerah selama ini disinyalir regulasi/kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lahan bias oligarki.
Analisa yang dilakukan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) menjelaskan telah terjadi penutupan lahan antara tahun 2012 hingga 2020 bahwa kurun waktu 10 tahun nampak penurunan luas hutan primer, hutan sekunder, sawah dan semak belukar (Rizal, 2021). Hal ini menunjukkan pengurangan lahan seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan. Akibatnya penutupan lahan serapan air dapat memberikan gambaran kemungkinan banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Kalimantan Selatan.
Sepatutnya pemerintah daerah hingga pusat memperhatikan ijin AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) dalam pemanfaatan lahan serapan air. Jika kualifikasi tanah irrelevan pembukaan areal perkebunan maka dibekukan ijinnya. Jika dipaksa membuka lahan produksi nasib beberapa DAS di Indonesia mengalami kondisi tidak tertampungnya air dalam saluran pembuang (palung sungai) sehingga meluap menggenangi daerah (dataran banjir) sekitarnya.
Di sisi lain, sebagian masyarakat bahagia dan gembira menonton air bah (banjir) di sekitar tempat tinggal atau diluar daerahnya. Aktifitas lain yang dilakukan seperti mencuci kendaraan bermotor menggunakan air banjir, anak-anak berenang di kawasan banjir serta masyarakat lain berduyun-duyun bermain air banjir (baca: keceh dalam bahasa jawa).
Padahal air banjir adalah air kotor yang mengandung banyak bakteri menimbulkan penyakit kulit. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan dampak banjir bagi manusia akan berisiko bakteri di dalam air menyebabkan masalah pada lambung, sakit perut karena air tidak bersih (CDC, 2012). Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan terhadap musibah bukan ajang bahagia diatas penderitaan. Musibah pasti menyisakan korban bahkan kelompok keluarga miskin baru. Sikap etis harus diwujudkan aksi dukungan moril dan materiil kepada korban banjir patut dilestarikan untuk memupuk rasa solider, kasih sayang, rasa aman dan mengukuhkan persaudaraan. (*)
Dosen Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah IAIN Salatiga