RADARSEMARANG.COM – Inilah kata-kata paling viral dalam seminggu kemarin. Di rumah saja. Berasal dari surat edaran gubernur Jateng.
Saya girang. Kebetulan tidak suka kongkow. Tidak senang keluyuran. Tidak bisa dugem. Apalagi clubing. Tidak hobi berbelanja di mal. Tidak bebas makan dan minum.
Yang saya tidak suka, toko, pasar, dan tempat usaha, diminta agar tutup. Padahal kebiasaan saya kalau di rumah berbelanja ke pasar. Berebut sama ibu-ibu. Kemarin saya membeli kangkung, kacang panjang, lombok, terasi, bawang, brambang, tempe, kerupuk, kelapa, kacang hijau, nangka, pisang, dan gula merah. Mumpung di rumah Sidoarjo, Jatim. Tidak terkena kebijakan gubernur Jateng.
Begitu dilempar ke publik, gerakan itu langsung menjadi trending topic. Hanya dalam waktu sekejap kebijakan gubernur Jateng itu menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Tanggapan bermunculan. Mulai dari masyarakat kecil sampai pejabat. Meme berseliweran memenuhi media sosial.
Sebagai orang media saya suka mengamati hal itu. Kritiknya tajam-tajam. Tetapi, kata-katanya menggelitik. Membuat orang tersenyum. Yang dikritik tak bisa marah. Yang mengritik tidak pongah. Itulah khas Jawa Tengah. Santun.
Perhatikan. “Di rumah saja. Habis mau ke mana. Di luar banjir.” Ada lagi seperti ini, “Memang mau ke mana. Sabtu banjir, Minggu bersih-bersih.” Yang lain melempar joke, “Bagaimana bisa di rumah. Wong rumahnya kebanjiran.” Ada lagi begini, “Metik daun singkong saja, pasar tutup.”
Memang ada permintaan semua toko, pasar, restoran, dan tempat usaha ditutup. Itu bertujuan untuk menekan penularan Covid-19 yang di Jawa Tengah terus merajalela. Sudah diberlakukan PKM (pembatasan kegiatan masyarakat) selama 14 hari tidak mempan. Sekarang diperpanjang 14 hari lagi. Angka pertambahan covid masih tinggi.
Etty Myassaroh galau. Pagi sebelum pelaksanaan Jateng di Rumah Saja, dia ke pasar. Hendak membeli stok bahan makanan. Untuk kebutuhan tiga hari sekaligus. Hari itu dan dua hari berikutnya. Dia hendak di rumah saja tanggal 6 dan 7 meskipun sebenarnya tidak suka.
Pukul 07.00 pasar sudah sepi. Sayur, ikan, dan kebutuhan lainnya, sudah pada habis. Padahal biasanya jam 07.30 masih ramai. Terjadi kehebohan. “Mereka pada takut. Khawatir kalau pasar betul-betul ditutup,” ujar Etty dalam perjalanan dari Kudus ke Rembang bersama saya.
Saat pelaksanaan, toko-toko dan pasar di Kudus memang tutup. Tetapi di daerah lain banyak yang buka. Saya mengamati di beberapa jalan di Kudus, Pati, dan Rembang. Itu tergantung dari kebijakan bupati masing-masing. Di Semarang pasar juga boleh buka. Tetapi Sabtu, 6 Februari, tidak ada orang yang berbelanja. Hujan dan banjir menghajar kota yang melejit seiring jargon kehebatannya.
“Pie lee? Saiki ngerti to kenopo dikon neng omah. Neng njobo banjir. (Bagaimana Nak, Sekarang mengerti kan, kenapa disuruh di rumah saja. Di luar banjir).” Kata netizen menyindir.
Saya positif thinking. Tanggal 6 berdiam di rumah Kudus. Malamnya sampai siang 7 Februari di rumah Sidoarjo, Jatim). Sore kemarin di Semarang. Di jalan hanya melintas. Duduk di dalam mobil. Sama saja dengan di rumah. Tidak ketularan covid atau menulari siapapun.
Sedianya hari Sabtu saya ngantor di Radar Semarang. Berangkat dari Kudus pukul 09.00. Di jalan Lingkar Utara gelap tanpa gulita. Semua kendaraan menyalakan lampu. Bahkan lampu penerangan jalan juga menyala. Itu pun pandangan masih sangat terbatas.
Seorang karyawan memberi saran lebih baik tidak masuk Semarang. Banjir di mana-mana. Lalu lintas lumpuh. “Simpang Lima saja tergenang. Apalagi yang lain,” katanya memberi gambaran. Jalan Kaligawe yang akan saya lewati lumpuh. Saya putar balik.
Banjir bukan hanya menghajar Semarang. Jalan Kudus-Pati diterjang air bah. Demikian pula Pantura Kendal. Saya mengecek beberapa wilayah di Jateng. Nyaris semua hujan deras. Seperti di Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Grobogan, Demak, Ungaran, Salatiga, Wonosobo, Pekalongan, dan Kendal. Hanya Magelang dan Temanggung yang terang benderang.
Dalam keadaan seperti itu, semua pompa, berapapun jumlahnya, tidak akan bisa mengatasi. Bahkan, seluruh alat berat dioperasikan tidak menyelesaikan persoalan. Dana covid digelontorkan sekalipun tidak mencukupi. Seluruh pejabat marah akan sia-sia. Curah hujan demikian tinggi.
Bencana alam pas diberlakukan Jateng di Rumah Saja itu menjadi pelajaran berharga. Kita tak boleh lengah. Tidak boleh berdiam diri. Perhatian tak boleh tersita oleh covid sekalipun. Demikian juga dana. Banjir telah menyengsarakan umat manusia. Sama juga dengan covid. (*)