RADARSEMARANG.COM – Begitu divonis Covid-19 lagi saya sempat senewen. Pikiran terus mengatakan, “Ah, yang bener.” Rasanya kepingin protes. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan? Kepada petugas laboratorium? Atau kepada diri sendiri.
Saya berusaha menenangkan diri. Saya kabari ketiga anak saya di Sidoarjo, Jatim. Ternyata meraka tidak kaget. Anak saya yang bungsu malah sibuk dengan pekerjaannya saat itu. “Sek, Pak. Omah banjir. Iki resik-resik. Lek wis mari tak telpon (Sebentar, Pak. Di rumah banjir. Sekarang bersih-bersih. Kalau selesai saya telepon),” katanya dengan bahasa Jawa Timuran.
Anak nomor dua menyarankan agar saya menggunakan acuan tes sebelumnya. Itu berarti sudah negatif. Saya tidak mau. Khawatir kalau memang masih positif. “Atau konsul dokter. Arahannya bagaimana,” katanya. Saya terima saran ini.
Dokter mengatakan, bisa saja hal itu terjadi. Saat tes yang kedua alat tidak mendeteksi adanya virus. Sedangkan pada tes ketiga alat masih menangkap virus. Tapi hanya pecahannya. Virus itu sudah tidak bergerak. Tidak berdaya. Tidak bisa menular lagi.
Kesimpulannya, saya diperbolehkan mengakhiri isolasi, asalkan sudah minimal 10 hari, dan selama itu tidak menimbulkan gejala sama sekali.
Penjelasan itu melegakan. Tapi saya tetap bertanya-tanya. Kok bisa? Tesnya tidak terpaut lama. Yang kedua dengan hasil negatif itu tanggal 3 Januari 2021. Sedangkan tes ketiga 7 Januari 2021 hasilnya positif. Itu hanya terpaut empat hari. “Apa saya tertular lagi?” Pertanyaan itu saya lontarkan kepada teman-teman. Tidak ada yang bisa menjawab.
Pada rentang waktu empat hari itu saya memang sempat keluar dari sarang isolasi. Rabu tanggal 6 Januari ke rumah sakit untuk tes. Namun ditunda hingga besok. Saya sempat mampir kantor Radar Kudus. Saat itu, saya gunakan acuan hasil pemeriksaan sebelumnya. Status negatif covid. Itu pun saya tidak berdekatan dengan karyawan.
Hari berikutnya keluar karantina lagi. Pergi ke rumah sakit lagi untuk tes ketiga itu. Saat itu bersama beberapa orang. Mereka itu positif covid yang sudah 10 hari isolasi dan tidak muncul gejala. Mereka juga diperbolehkan tes lagi. Mungkinkah saya ketularan mereka? Rasanya tidak mungkin. Dokter memberi penjelasan, setelah 10 hari isolasi dan tidak ada gejala, covidnya sudah pecah. Tidak bisa menular.
Dari literatur yang saya baca, seseorang yang pernah terkena covid tidak bisa terserang lagi. Itu karena dia telah memiliki antibodi yang kuat. Namun ada dokter yang tidak sependapat.
Saya masih berusaha mencari jawaban. Berbagai artikel saya baca. Saking banyaknya saya semakin bingung. Analisis dokter yang satu tidak sama dengan yang lain. Kalau pemeriksaannya di tempat berbeda, dengan alat berbeda, oleh orang yang berbeda, dan waktu berbeda, hasilnya berbeda pula. Saya setuju pendapat ini. Saya memang tes di tempat berbeda.
Ada juga yang mengatakan, sangat tergantung dari pengambilan sampelnya. Ada yang pengambilannya cukup di langit-langit hidung dan tenggorokan bagian tengah, ada juga yang sampai di ujung terdalam. Apabila cotton bud yang digunakan sampai menusuk dinding hidung dan tenggorokan paling dalam, disodokkan, dan diputar-putar, rasanya sakit. Saya ingin muntah.
Rentang waktu antara pengambilan sampel dan pemrosesan di laboratorium juga berpengaruh pada hasil. Kalau rentang waktunya lama, virus bisa “mati”. Maka hasil akhirnya bisa negatif. Tentu saya tak tahu bagaimana sampel lendir saya diproses.
Di tengah kebingungan saya, Ulin Nuha, redaktur pelaksana Radar Kudus, memberi jawaban. “Saya tahu jawabannya, Pak,” katanya. Itu karena parameter yang digunakan berbeda. Yang dimaksud adalah nilai CT (cycle threshold).
Pada alat rapid test antigen, juga ada kata CT itu. Silakan yang pernah rapid test antigen memeriksanya. Namun tidak muncul nilainya. Yang ada hanyalah garis. Apabila setelah diolesi lendir hidung muncul satu garis merah berarti nonreaktif. Apabila muncul dua garis merah berarti reaktif. Kemungkinan positif covid.
Ada yang menggolongkan nilai CT 30 sudah bebas covid. Tetapi ada yang mematok 35. Bahkan ada yang mengharuskan 40. “Pada tes kedua Pak Baehaqi, kemungkinan standar CT yang digunakan rendah. Sedangkan tes ketiga menggunakan nilai tinggi. Karena itu hasil tes kedua negatif dan tes ketiga positif,” terang Ulin.
Sayangnya saya tak tahu berapa nilai CT saat tes. Pada surat keterangan hasil pemeriksaan swab PCR juga tidak ada nilai CT. Yang ada hanyalah negatif atau positif.
Saya tidak mau mencari-cari kesalahan. Saya terima hasil pemeriksaan ketiga yang positif itu. Yang penting sehat. Saya perpanjang isolasi seminggu lagi. Menerima dengan lapang dada ini saya yakini justru menenangkan hati, dan tidak membebani pikiran. Itulah bekal utama untuk sembuh. (bersambung)