RADARASEMARANG.ID – “Pakde, Makan.” Suara dari seorang anak wanita itu memecah keheningan setelah maghrib. Saya sedang melamun sambil memikirkan tempat isolasi selama 14 hari. Apakah di rumah Sidoarjo, rumah orang tua di Kudus yang kosong, rumah adik yang masih baru, rumah belakang kantor Radar Semarang yang ada kolam renangnya, atau di rumah isolasi milik pemerintah.
Anak baru gede itu bernama Najwa. Masih kelas I Madrasah Aliyah. Dia ikut swab PCR bersama saya. Hasilnya dia negatif. Saya positif. Padahal sehari sebelum swab itu dia bersama saya satu mobil. Ketika diswab kami belum tahu kalau terkena Covid-19. Semua tidak bergejala.
Saya memilih isolasi mandiri di rumah Najwa, keponakan saya di Kudus. Kebetulan bapaknya punya rumah baru yang lantai duanya nyaris kosong. Lantai satu pun hanya digunakan untuk kerja. Saya aman dari lalu lalang orang. “Pakde di sini saja,” pinta Nabila, adik Najwa. Saya terharu mendapat tawaran itu.
Setiap kali mengantar makanan, Najwa meletakkannya di ujung tangga lantai 2. Demikian juga adik dan ibunya. “Pak De, kalau butuh apa-apa bilang ya,” tambah Nabila.
Setelah saya jawab oke, dia berlalu. Saya memandanginya di ruang sebelah yang terpisah dengan kaca lebar tembus pandang.
Di teras lantai dua itu saya bisa berjemur. Mataharinya los dol. Hanya saja belakangan jarang terbit. Sering mendung. Malah sering hujan.
Kepingin rasanya seperti Ulin Nuha, redaktur Radar Kudus, yang menempati asrama mahasiswi Akbid Kudus. Setiap pagi bisa berlari-lari di depan kamar. Atau seperti Sugiyanto, salah seorang manajer Radar Semarang. Dia ikut senam bersama di rumah dinas wali kota Semarang. Atau seperti Zaenal Abidin, pemimpin redaksi Radar Kudus yang setiap pagi berkebun di belakang rumah.
Saya berhemat tenaga. Menghentikan kebiasaan berjalan kaki setiap pagi. Padahal saran dokter harus berolah raga.
Dulu, akhir Maret 2020, ketika berisolasi kali pertama, saya selalu menyibukkan diri. Berlama-lama berolah raga. Selain untuk menjaga kebugaran, juga untuk menghabiskan waktu. Saya juga memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri, dan sendiri-sendiri lainnya.
Kali ini, saya ingin ketenangan yang saya yakini bisa mempercepat kesembuhan. Isolasi mandiri di desa. Para tetanga tidak tahu. Memang pernah ada tracing dari petugas Puskesmas. Mereka bertiga. Tidak berseragam. Datangnya juga diam-diam. Mereka hanya memastikan saya telah isolasi mandiri. Tidak memberi obat maupun vitamin. “Bapak kan sudah minum vitamin,” katanya.
Suasana desa tempat saya isolasi relatif tenang. Tidak ada kesan hiruk pikuk Covid-19. Jumatan dan tahlil masih biasa. Memang ada imbauan di depan balai desa. Malah sangat detail. Termasuk cara-cara hidup sehat. Saking detailnya sampai sulit dilaksanakan. Salah satu petunjuknya begini, “Memakai gayung terpisah antar anggota keluarga.”
Isolasi kali ini sangat enak. Ada yang mengantar makanan setiap pagi, siang, dan sore. Sama seperti di rumah isolasi di rumah dinas wali kota Semarang. Haryanto, Sugiyanto, dan Sofian Hadi malah bisa makan malam sambil kongkow di taman.
Seenak-enaknya isolasi menjemukan juga. Apalagi kalau hanya makan dan tidur. Sehari rasanya lama sekali. Saya habiskan dengan membaca koran dan Alquran. Masih belum cukup. “Video call dengan teman-teman saja, Pak,” saran Kholid Hazmi, redaktur Radar Kudus.
Saya turuti saran itu. Nyaris setiap hari saya kotak karyawan di Radar Semarang, dan dua kantor bironya. Juga teman-teman di Radar Kudus dan empat kantor bironya. Asyik. Isolasi sambil WFH (work from home).
Yang mengkhawatirkan bisa muncul penyakit baru seusai isolasi nanti. Penyakit keenakan. Kelesterol, asam urat, dan gula, bisa naik. Bahayanya sama kejam dengan Covid-19. (Bersambung)