RADARSEMARANG.COM – Begitu divonis positif Covid-19, saya langsung memutuskan isolasi mandiri. Berarti dua kali saya menjalaninya.
Yang pertama, 28 Maret 2020. Ketika itu karena melakukan kontak langsung dengan penderita covid yang akhirnya meninggal. Hebohnya luar biasa. Orang di sekitar saya stres. Saya lebih shock lagi. Waktu itu awal musim covid. Gambaran yang beredar hanyalah kematian. Belum ada korban yang sembuh.
Sekarang kondisinya berbeda. Saat saya dinyatakan positif, jumlah penderita Covid-19 mencapai 727.122 orang. Di Jawa Tengah malah memerah lagi. Namun, penderita yang sembuh mencapai 596.783. Jumlah itu jauh melebihi korban meninggal, yaitu 21.703.
Di masyarakat juga sudah tidak heboh-heboh amat. Saya amati orang-orang dekat saya biasa-biasa saja. Bahkan sesama penderita covid bisa saling bercanda. Termasuk orang yang sudah berhari-hari dirawat di rumah sakit pun bisa tertawa. Itulah memang obat yang paling ampuh untuk melawan covid. Selalu bergembira. Saya kembangkan positive thinking. Suatu saat akan sembuh. Allah memberi penyakit Allah pula yang menyembuhkan seperti doa Nabi Ibrahim dalam Alquran surat Asysyu’aro ayat 80, waidza maridltu fahuwa yasyfin. Apalagi ketika dinyatakan positif kondisi saya relatif sehat. Tidak batuk, tidak panas, tidak lemas, tidak sesak nafas, dan tidak sakit tenggorokan.
Keluhan saya hanya terasa ada lendir yang menempel di tenggorokan. Kalau malam kaki terasa kedinginan. Hidung sulit membau. Saya tidak mengira sama sekali kalau terkena covid.
Memang saya pernah sakit. Tetapi itu jauh sebelum tes covid. Di lembar catatan saya tertanggal 18 Desember 2019. Sebelas hari sebelum tes swab PCR. Ketika itu badan terasa lemah, otot pada kaku, tenggorokan gatal, perut kembung, dan badan menggigil. Namun saya pastikan tidak panas, tidak batuk, dan tidak sesak nafas.
Saya hanya mengira semua keluhan yang saya rasakan itu karena kelelahan. Karena banyak melakukan perjalanan luar kota. Saat itu sama sekali tidak terlintas untuk tes covid.
Untuk melawan penyakit itu saya beli segepok obat-obatan. Ada tiga macam obat flu, sakit kepala, obat panas, obat batuk dan pilek, obat kembung, satu strip antibiotik, minyak kayu putih, dan dua macam multivitamin yang saat covid laris manis. Adik saya membelikan jahe dan madu. Yang terakhir disebutkan dalam Alquran sebagai minuman dan obat yang menyembuhkan segala penyakit (Annahl ayat 69).
Alhamdulillah berangsur-angsur membaik. Namun sesekali nggreges masih muncul. Itu pun saya anggap akibat kelelahan lagi. Pekerjaan akhir tahun memang bajibun.
Saya beli juga thermometer untuk memastikan suhu tubuh tidak melebihi batas. Saya tidak percaya thermo gun yang di kantor juga ada. Sejak sebelum sampai sesudah positif covid suhu badan tertinggi saya hanya 36,6. Ketika memasuki RSUD sebelum swab, juga ditembak dengan thermo gun. Suhu malah 36,1. Kesimpulan saya suhu badan normal tidak menjadi ukuran orang tidak terkena covid. Lantas kenapa di mana-mana orang ditembaki dengan thermo gun. Seminggu kemudian saya sudah sehat.
Ternyata ketika diswab PCR tanggal 29 Desember 2020 saya positif. Saya beli lagi obat-obatan yang telah habis. Adik saya membelikan lagi sebotol besar madu dan jahe. Seorang teman mengirimi sari mengkudu. Semua saya lahap. Saya tidak mau mengambil risiko.
Hari itu anak sulung saya kembali ke Sidoarjo. Rencananya memang hanya mengantar saya ke Kudus. Karena ada swab PCR dia saya ikutkan. Ternyata dia positif juga. Saya langsung sampaikan kabar itu. Dia baru sampai Lamongan dalam perjalanan ke Sidoarjo. “Setelah sampai rumah kamu isolasi mandiri,” perintah saya.
Saya kabari dia kalau positif covid. Ternyata dia tidak terlalu kaget. Sesampai di rumah malam hari, saya minta dia balik ke Kudus keesokan harinya. Sebelum berangkat, dia bersihkan seluruh isi rumah dengan disinfektan. Ada lima jenis berbagai merek. Adik dan istrinya menjalani rapid test antigen. Alhamdulillah negatif.
Dalam perjalanan balik ke Kudus, dia membeli obat-obatan lengkap seperti yang saya minum. Membawa juga dua tube obat hirup. Untuk saya dan dia sendiri. Ada juga disinfektan semprot. Setiap pagi seluruh ruang dia semprot dengan disinfektan itu. Termasuk untuk mengepel lantai.
Dia isolasi berdua bersama saya. Sedih juga. Bapak-anak isolasi di kamar bersebelahan. Dalam kondisi terbayang-bayang kematian.
Enaknya, ada teman ngobrol meskipun tetap jaga jarak. Saling membikinkan minum, saling membikinkan mie kuah, saling mengajak makan, saling mengingatkan minum obat, saling membikinkan jahe panas plus madu. Romantis juga. (bersambung)