28 C
Semarang
Thursday, 10 April 2025

Kematian Tetap Membayang

Pengalaman Positif Covid-19 (1)

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Hari itu 29 Desember 2020 saya tidak mempunyai firasat apa-apa. Apalagi sampai merasa positif Covid-19. Pagi pukul 07.10 saya berpesan kepada karyawan Radar Kudus dan Radar Semarang agar tetap sehat dan terhindar dari Covid-19. Kalimatnya panjang. Tiga alinea, delapan baris di layar laptop.

“Selamat pagi. Perkembangan cuaca akhir-akhir ini ekstrem. Sering turun hujan. Disertai angin. Di beberapa tempat sudah banjir. Udara dingin. Itu rawan berbagai penyakit. Terutama demam, flu, batuk, pilek, tipus, dan demam berdarah.
Kondisi yang tidak fit, apalagi sakit, mempermudah serangan Covid-19. Sebaiknya teman-teman berhati-hati. Usahakan selalu berpakaian hangat. Terutama di luar rumah dan saat hujan. Makan bergizi dan minum vitamin.
Manfaatkan fasilitas kesehatan yang ada dan usahakan tes covid. Baik rapid antigen maupun swab PCR. Khususnya bagi teman-teman yang bergejala. Semoga kita tetap sehat.”

Pesan itu dimasukkan grup WA kedua perusahaan.
Saya pantau ada beberapa karyawan Radar Kudus yang sakit. Demikian juga di Radar Semarang. Namun tidak parah. Ada salah satu istri karyawan yang keguguran. Saya hanya bisa kirim ucapan bela sungkawa. Pagi itu saya tidak bisa ke mana-mana. Ada jadwal swab PCR di RSUD Kudus.

Sampai swab dilaksanakan, saya tenang-tenang saja. Bahkan masih guyon dengan teman-teman yang menyertai saya. Mereka juga merasa sehat-sehat saja. Sedikit ketegangan ketika petugas membuka pintu untuk memanggil orang yang diswab.

“Silakan siapa yang duluan,” kata petugas yang memakai APD lengkap itu.

Belasan orang yang duduk di kanan, kiri, dan depan saya, tidak ada yang maju. Saya yang persis di samping kanan pintu berdiri. Mengawali swab hari itu. Itulah tidak enaknya pimpinan. Kalau makan dinomorsatukan. Kalau swab juga didahulukan. Jadi kelinci percobaan.
Ketegangan itu bertambah ketika saya keluar ruangan sambil meringis. Rasanya ingin muntah. Cotton bath yang digunakan untuk mengambil lendir di hidung diputar-putar. Menyentuh dinding bagian dalam. Demikian juga ketika dimasukkan mulut. “Buka tenggorokan,” kata petugas berkali-kali.

Saat itu saya sudah berusaha. Ternyata malah menutup rapat. Padahal lendir harus diambil dari dinding tenggorokan paling dalam. “Hoak,” begitu reaksi saya ketika ujung cotton bath menyentuh tenggorokan.

Zainal Abidin, pemimpin redaksi Radar Kudus, yang ikut swab bersama saya, malah sampai seperti menangis. Dia mengusap matanya. Tetapi keponakan saya yang masih kelas 1 Madrasayah Aliyah biasa-biasa saja. “Nggak sakit kok,” ujarnya.

Dari rumah sakit, saya langsung pulang. Hari itu tidak ngantor. Saya putuskan isolasi mandiri sampai hasil tes keluar. Siang saya minta diadakan doa bersama seluruh karyawan Radar Kudus.

“Nanti habis asar pukul 15.30 kita doa bersama secara virtual dipimpin ustad Sodiqin dan ustad Ali Mustofa secara bergantian.”

Pukul 15.59 sebelum doa bersama selesai, saya mendapat pemberitahuan hasil swab. Yang mengejutkan ternyata saya malah positif. Tragis. Kabar itu langsung saya sampaikan ke teman-teman Radar Kudus dan Radar Semarang.

Meskipun sudah lebih banyak orang yang terpapar Covid-19 sembuh, saya masih deg-degan. Kematian terus membayang. Akankah covid akan mengantar ke liang lahat.

Saya berusaha menegarkan diri. Berkali-kali membaca istighfar. Kemudian mengambil wudlu dan salat. Di atas sajadah saya merenung. Tiba-tiba teringat pesan Gus Baha (KH Bahaudin Nursalim) lewat pengajiannya yang saya ikuti setiap hari. Mati itu tidak perlu ditakuti. Anggap saja nikmat. “Kematian memutus potensi orang berbuat maksiat.”

Saat hidup, seberapapun alaim-alamahnya mereka, berpotensi melakukan kemaksiatan. Potensi itu akan hilang saat mereka mati. Berarti mati itu mestinya menyenangkan. Saya cerna pesan itu. Tetapi sulit bisa menerima dengan lapang dada. Yang muncul di pikiran selalu ingin hidup lebih lama lagi. Astaghfirullah.

Saya sudah berusaha melaksanakan prosedur kesehatan. Menerapkan 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) dan petunjuk-petunjuk lain. Kalau masih terkena covid itu takdir. Kematian juga takdir. Takdir hanya bisa dilawan dengan takdir. “Takdir itu harus kita imani,” kata Syeh Ali Jaber menjelang wafatnya.

Dai dari Madinah yang menetap di Indonesia itu terkena juga Covid-19. Di tempat perawatannya di rumah sakit beliau mengatakan telah berkali-kali diswab. Hasilnya negatif. Sampai akhirnya dia sakit, batuk, dan panas, naik turun. Beliau diswab lagi. Ternyata positif. “Mudah-mudahan melalui ujian ini saya dapat diampuni segala dosa,” katanya seperti unggahan di Youtube. Saya semakin kencang beristighfar.

Syeh Ali Jaber wafat 14 Januari 2021 (Kabar lain menyebutkan menjelang akhir hayatnya dia diswab lagi dan sudah negatif). Berarti selama saya isolasi ada dua ulama besar yang saya kagumi meninggal dunia. Satu lainnya, Habib Ja’far Al-Kaff yang wafat 1 Januari 2020 di Samarinda, dan dimakamkan di Kudus. Beliau wafat bukan karena covid. (bersambung)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya