RADARSEMARANG.COM – Kabar itu singkat. Kalimatnya datar. Tidak ada ekspresi apa-apa. Namun dampaknya bagi saya besar sekali. Kaget, bingung, dan takut. Semua bercampur menjadi satu. Kematian membayang.
“Pak Bae, hasil swab tadi ada lima orang yang positif,” begitulah bunyi pesan yang dikirim oleh Diyah Ayu Fitriyani, wartawati Jawa Pos Radar Kudus.
Dia meneruskan pesan dari petugas RSUD Loekmonohadi Kudus. Pesan itu masuk ke handphone saya pukul 15.59 tanggal 29 Desember 2020.
Saya kaget luar biasa. Ketika itu saya di rumah. Kebetulan sedang sendirian. “Hah? Termasuk saya?” tanya saya kepada Ayuk, panggilannya.
Saya minta dibeber saja agar semua orang yang melakukan kontak segera mengamankan diri.
Hari itu sekitar pukul 09.00 saya dan beberapa karyawan Radar Kudus mengikuti swab PCR. Atas inisiatif sendiri. Direktur RSUD Loekmonohadi Kudus dr Aziz Ahyar MKes memfasilitasi. (Kami mengucapkan banyak terima kasih).
Bermula dari kabar adanya dua karyawan Radar Kudus yang positif Covid-19. Itu membuat ciut nyali saya. Pikiran jadi ke mana-mana. Saya memimpin Radar Kudus dan Radar Semarang. Saya juga kontak dengan anak-anak, adik, dan keponakan yang masih kecil. Rencana kumpul keluarga di malam tahun baru jadi ambyar. Sedih.
Penularan Covid-19 bisa berantai. Multilevel. Dari satu orang ke beberapa orang lain ke orang yang lebih banyak lagi. Saya harus bertindak cepat. Meminimalisasi penularan. Secara pribadi maupun kelembagaan.
Saya perintahkan agar semua acara, baik di kantor maupun di luar kantor, dihentikan. Kami sambut PKM (pembatasan kegiatan masyarakat) yang dimulai hari ini sesuai petunjuk pemerintah.
Saya minta kantor Radar Kudus dan Radar Semarang disterilisasi lagi. Dipastikan lagi, setiap pagi semua pintu dibuka. Kipas angin dinyalakan. Pelaksanaan 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan mengenakan masker) yang sudah diterapkan selama ini diperketat. Ruang redaksi Radar Kudus malah sampai di-lock down.
Selama ini kantor Radar Kudus dan Radar Semarang telah diatur sedemikian rupa. Tempat duduk mereka berjarak dua meter ke samping dan ke belakang satu sampai dua meter. Tidak ada yang berhadapan. Masuknya juga sudah terjadwal. Admin dan marketing yang masuk pagi hanya sekitar 15 orang. Redaksi yang masuk sore juga sekitar 15 orang juga. Itu hanya sekitar 30 persen dari total karyawan.
Saya perintahkan kepada diri saya sendiri untuk melakukan swab. Juga saya instruksikan agar seluruh karyawan Radar Kudus dan Radar Semarang melakukan hal sama. Saya wajibkan anak-anak di Sidoarjo melakukannya. Saya minta adik saya sekeluarga di Kudus yang sering berkumpul bersama saya juga menjalaninya.
Ternyata tidak mudah. Swab itu mahal. Fasilitas yang dimiliki swasta maupun pemerintah juga terbatas. Yang bisa dilakukan serentak kemungkinan rapid test. Kemampuannya sudah ditingkatkan. Dulu rapid test antibody, sekarang rapid test antigen. Di berbagai fasilitas kesehatan sudah ada. Saya minta apapun jenis tesnya, semua melakukannya.
Saya menjalani swab di RSUD Kudus bersama sebilan orang, termasuk seorang anak saya dan keponakan. Karyawan Radar Kudus lainnya menjalani rapid test antigen dan swab di beberapa tempat.
Karyawan Radar Semarang menjalani rapid test di berbagai daerah. Di kantor Radar Semarang difasilitasi oleh Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryati Rahayu, dan tempat isolasi di rumah dinas wali kota Semarang (kami mengucapkan terima kasih). Adik saya sekeluarga menjalani tes di tempat ini juga. Sedangkan dua anak saya tes di kampung halamannya Sidoarjo, Jatim.
Saya yang sudah sangat berhati-hati malah dinyatakan positif. Anak sulung saya juga. Masya’Allah. Saya syok.
Anak saya itu jarang berkumpul dengan saya. Kondisinya saat tes juga baik-baik saja. Memang dia pernah flu. Tapi itu sudah lama. Pada awal Desember. Sedangkan tesnya dilakukan 29 Desember. Dia saya ikutkan tes karena mengantar saya semobil dari Sidoarjo ke Kudus. Sedangkan keponakan saya yang juga semobil dinyatakan negatif.
Saya sendiri juga tidak sakit. Memang pernah nggreges amat, tenggorokan gatal, pilek, dan perut kembung. Itu terjadi 18 Desember setelah melakukan serangkaian kegiatan secara beruntun di berbagai kota. Tapi setelah minum berbagai obat, saya sehat. Saat tes 29 Desember, saya hanya merasa masih ada sedikit lendir yang menempel di tenggorokan. Terkadang kalau capek masih terasa dingin.
Begitu dinyatakan positif, nama saya langsung terpampang di grup WA. Saya yang meminta agar karyawan lain berhati-hati. Bagi saya, korban covid harus terbuka. Toh ini tidak sengaja. Musibah. Ada juga kepala daerah, ketua DPRD, sekretaris daerah, anggota dewan, dan kepala dinas yang terkena.
Saya tidak tahu kena covid di mana? Dugaan saya tidak di kantor. Orang-orang kantor yang berdekatan dengan saya ternyata negatif. Di kantor juga telah dilaksanakan protokol kesehatan. Di rumah kayaknya juga bukan. Karena anak bungsu saya yang paling dekat dengan saya juga sehat.
Saya menduga terpapar di luar kantor. Demikian juga teman-teman lain yang positif. Mereka beberapa kali melakukan perjalanan ke luar daerah. Saya juga.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya saya kepada Ayuk.
Wartawati itu sering menulis berita-berita mengenai Covid-19 di Kudus. Dia akrab dengan para petugas RSUD, termasuk kenal baik dengan direkturnya dr Abdul Aziz Ahyar MKes. Dia sering berhubungan dengan dr Andini Aridewi, juru bicara Satgas Pencegahan Covid-19 yang merangkap Plt kepala Dinas Kesehatan Kudus.
Untuk menjawab pertanyaan saya, Ayuk harus berkonsultasi dengan dr Andini. Katanya, saya harus isolasi mandiri, dan minum vitamin. Saya patuhi itu. Saya melakukan isolasi mandiri dengan ketat. Pada malam tahun baru saya menikmatinya di karantina. Demikian juga anak saya, serta karyawan Radar Kudus dan Radar Semarang yang positif.
Tiga karyawan Radar Semarang mengkarantina diri di rumah dinas wali kota Semarang. Namun hanya sehari semalam. Mereka tidak bergejala. Hari berikutnya dia diswab lagi. Hasilnya sudah negatif. Alhamdulillah. Sedangkan seorang melanjutkan perawatan di rumah sakit. Sekarang dia sudah pulang dan sudah dinyatakan negatif covid.
Enam karyawan Radar Kudus menjalani isolasi di rumah. Satu lainnya memilih karantina di asrama Akbid Kudus. Mereka sama sekali tidak menunjukkan gejala covid. Tidak panas, tidak batuk, tidak pilek, tidak diare, tidak sesak nafas, dan tidak sakit kepala. Sedangkan seorang lainnya isolasi di RSUD Kudus, dan sekarang sudah pulang. Dia sehat seperti yang lain. Alhamdulillah. (*)