RADARSEMARANG.COM – Suatu saat saya berkesempatan berwisata ke Taman Maerokoco. Itu taman mini Jawa Tengah. Isinya anjungan seluruh kabupaten/kota.
Saat itu redaksi RADARSEMARANG.COM mengadakan upgrading bagi seluruh wartawan. Mereka dilatih menentukan angel yang tepat, melakukan reportase, sekaligus menuliskannya. Maerokoco dipilih sekalian untuk refreshing.
Ada spot baru di sana. Yaitu Lumina. Berupa replika rumah-rumah tradisional dari lima negera tiga benua. Yaitu Jepang, Yunani, Turki, Meksiko, dan Arab Saudi. Dicat warna-warni. Instagramabel. Wartawan berkesan Lumina lebih menarik bagi pengunjung dibanding anjungan dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah yang berupa rumah-rumah kuno juga.
Saya tidak hendak mendeskripsikan spot baru maupun lama. Yang ingin saya catat sebagaimana dicatat oleh wartawan adalah inovasi dan kreativitas pengelolanya. Ada keberanian untuk menghadirkan spot baru. Meskipun objeknya rumah tradisional tetapi dibikin milenial.
Selagi pandemi korona terus berlangsung, sudah banyak wisatawan yang berkunjung ke sana. Inilah tempat wisata di jalan menuju bandara A. Yani Semarang yang murah dan meriah.
Keberanian, kreativitas, dan inovasi mengelola pariwisata ini juga dicatat oleh Dr HA. Mujib Rohmat MH, anggota komisi 10 DPR RI. Sabtu lalu dia menyerap aspirasi para pelaku wisata di Desa Jungsemi, Kendal. Dalam kesempatan itu pula RADARSEMARANG.COM memberikan penghargaan sebagai penggerak pariwisata.
Dia prihatin, di saat lagi menghebohkannya virus korona semua tempat wisata ditutup. Ekonomi yang menyertainya mati. Sekarang dia sedikit lega. Semua tempat wisata sudah dibuka lagi. Denyutnya mulai terasa. Minggu lalu saya mengamati Taman Kyai Langgeng di Mageleng. Sudah lumayan ramai.
Tempat-tempat ziarah yang belakangan ini menjadi tujuan wisata masyarakat juga sudah dibuka. Saya amati di makam Sunan Kalijaga, sudah seperempat lantainya terisi peziarah. Demikian juga di makam Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Dibukanya tempat-tempat wisata rakyat ini menjadi obat stres tersendiri bagi masyarakat. Mereka sudah lama terkungkung di rumah. Dengan beban ekonomi yang amat berat lagi. Belum lagi melihat anak-anak yang sudah lama tak bisa berkumpul dengan teman-temannya di sekolah.
Saya menangkap kebosanan itu bukan hanya ada pada para siswa. Guru-gurunya juga demikian. Pendidikan lewat daring tidak efektif. Maka jangan disalahkan kalau ada sekolah yang memasukkan siswanya ke kelas dengan berbagai alasan. Misalnya dengan dalih les. Anak-anak tidak disuruh berseragam biar tidak dianggap melanggar aturan.
Sebagian guru dan orang tua pantas khawatir, kebosanan yang melanda bisa meningkat menjadi stres masal yang sulit disembuhkan.
Maka wisata menjadi obat tersendiri bagi anak-anak dan masyarakat. (*)