33 C
Semarang
Sunday, 4 May 2025

Maluku yang Njawani

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Panggilannya Bang John. Nama lengkapnya John Richard Latuihamallo. Semarga dengan Glenn Fredly. Sama-sama lahir di Saparua, Maluku Tengah.

Perawakannya tinggi. Kulitnya hitam, meskipun tidak hitam beneran seperti orang Afrika. Anak laki-lakinya juga tinggi. Salah satu menjadi pemain basket.

Seumur hidup baru sekali saya bertemu. 13 Oktober lalu. Di WL Home Kitchen, kawasan Bukitsari, Semarang. Di situlah istri John, Sarah Siti Kawiryan Wiryono, membuka kursus memasak.

Saat itu, saya dan teman-teman dari RADARSEMARANG.COM hendak menyerahkan penghargaan untuk John. Dia terpilih sebagai advokad pejuang perlindungan anak.

Kiprahnya banyak sekali. Sebagai ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Tengah dan ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA) Kota Semarang.  John sangat menonjol dalam penanganan kasus-kasus kekerasan pada anak. Dia memiliki komitmen, kepedulian, dan keberanian, untuk melindungi anak-anak Indonesia.

Istri John yang akrab dipanggil Nanan Wiryono  berkulit putih. Dandanannya rapi. Saya mengira dia orang luar negeri. Ternyata dari Delanggu, Klaten. Nanan itulah yang menerima saya sebelum bertemu John.

Nanan luar biasa dalam menjamu kami, tim Radar Semarang. Dia sendiri yang mejadi koki. Mulai dari menentukan menunya, menyiapkan bahannya, meramunya, sampai menghidangkannya. Kejawaannya sangat menonjol meskipun menu yang dihidangkan saat itu western.

Bukan hanya dari Nanan dan keluarganya John menjadi lebih Jawa. Teman-temannya semasa kuliah dan masyarakat Semarang yang menempanya. “Kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Jawa, ya di Semarang,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) itu.

John ramah, humble, dan sangat menghargai orang lain. Bisa saja orang terkecoh. Dia lebih Jawa dari orang Jawa. Itu berbeda dengan saya. Perawakan kecil. Kulit hitam. Rambut keriting. Bersuara keras. Dulu banyak orang mengira saya dari Maluku. Saya juga tidak bisa berbahasa Jawa halus seperti Bu Nanan.

Ketika tahu bahwa saya lahir dan besar di Kudus, John membuka kenangan. Dia mengikuti pertukaran pelajar saat SMA di Kudus. Dia tinggal di rumah salah satu guru SMA  di Karangbener, Dawe. Itu satu kecamatan dengan kantor Jawa Pos Radar Kudus yang saya juga berkantor di sana.

Saat diterima kuliah di Undip, jujugan pertamanya juga di rumah guru SMA yang sudah dianggap sebagai orang tuanya di Kudus itu. Sebab, dia tidak punya saudara di Jawa. Dari Maluku, John naik kapal tiga hari, turun di Tanjung Perak, Surabaya. Ia lalu naik bus ke Kudus. Turun di Simpang Tujuh, dijemput oleh orang tua angkatnya itu. Sampai sekarang John masih menjalin tali silaturrahim dengan keluarga yang ditempati dulu.

“Kalau Lebaran saya masih berkunjung,” kata John yang mengaku sudah dianggap sebagai keluarga.

Di Kudus, John mendapat kedamaian. Dengan keluarga dan alam. Dia sering bernyanyi di gubuk. Di tengah sawah.

John merasa ditempa oleh dua dunia yang sama-sama luar biasa. Di Maluku dia menjadi seperti sagu. Pohonnya hitam, tinggi, kuat, dan daunnya rindang. Tetapi dalamnya lembut, putih, dan mengenyangkan orang.  Di Jawa menjadi seperti padi. Menunduk dan juga bermanfaat bagi manusia.

Meskipun baru sekali bertemu, saya mendapat banyak pelajaran. Dia mewawancarai saya. Padahal saya yang wartawan. Pertanyaannya sangat detil. Dalam sekali. Mengenai falsafah hidup.

Dari pertanyaan itu saya bisa menyimpulkan, John memiliki prinsip hidup yang sangat kuat. “Orang Maluku itu jangan dilihat dari sisi luarnya saja. Mereka sesungguhnya lembut,” katanya. Tidak kalah dengan orang Jawa. (*)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya