RADARSEMARANG.COM – Sabtu lalu saya mengkuti pembelajaran daring. Ingin merasakan pengalaman anak-anak sekolah dan orang tua pada tahun pelajaran baru ini. Menumpang salah seorang siswi. Dari awal sampai akhir. Sekitar satu jam. Pelajarannya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Seumur hidup saya belum pernah mengikuti mata pelajaran IPA. Zaman saya sekolah mata pelajaran itu belum ada. Tapi, materi yang disampaikan kemarin pagi itu tidak asing bagi saya. Mengenai pengukuran. Zaman saya dulu materi itu masuk pelajaran ilmu ukur.
Siswi yang saya ikuti mengenakan seragam sekolah bagian atas. Alias baju dan kerudungnya saja. Roknya jins. Dia kelas VII.
Kakaknya yang kelas X juga mengikuti pembelajaran daring. Di rumah induk yang terpisah dengan adiknya. Dia mengenakan baju lengan panjang dan memakai kerudung juga. Namun, bukan seragam sekolah. Bawahannya celana pendek warna khaki. Kelihatannya lucu. Dua adiknya sampai terpingkal-pingkal. Saya juga. “Yang kelihatan kan cuma wajah,” alasannya.
Saya mengikuti pembelajaran daring supaya bisa merasakan betul model pembelajaran baru itu. Dari berbagai berita yang saya baca, banyak problem bermunculan. Mulai yang koneksi internetnya lemot, siswa tidak memiliki kuota, tidak bisa mengoperasikan zoom, tidak memiliki HP, tidak memahami mata pelajaran, sampai orang tua yang tidak bisa mendampingi anaknya.
Banyak kejadian ironis. Di Rembang salah seorang siswa tidak memiliki HP. Guru memberi solusi. Anak itu dimasukkan kelas. Sendirian. Gurunya membelajari secara langsung. Di Bandar Lampung, seorang ayah malah terpaksa mencuri laptop demi anaknya. Agar anaknya bisa mengikuti pembelajaran daring.
Ketika saya mengikuti pembelajaran kemarin juga terjadi peristiwa yang memilukan. Malam sudah dipersiapkan dengan matang. Baterai handphone diisi penuh. Koneksi internet dicoba. Ada dua saluran. Di rumah induk dan di rumah satunya. Zoom juga dibuka. Semuanya beres.
Pagi ketika anak sudah siap-siap belajar, link yang diberikan sekolah tidak bisa diakses. Jangankan anaknya, kedua orang tuanya juga bingung. Gurunya dihubungi. “Katanya sedang rapat,” kata si ayah menirukan jawaban guru. Tak ada yang memberi solusi.
Sampai dua mata pelajaran selesai, akses belum juga beres. Akhirnya anak kedua itu hanya bisa mengikuti mata pelajaran ketiga. Mata pelajaran IPA yang saya ikuti itu.
Guru mata pelajaran itu perempuan. Mengenakan batik warna hijau. Kerudung putih. Pada awal pembelajaran suara terdengar jelas. Tapi, kadang-kadang ada suara lain. Itu suara guru yang ada di ruangan sama. “Malah gurune omong-omongan dewe no (malah gurunya ngobrol sendiri,” kata siswa itu. Komentarnya itu setelah melihat sekelebat gurunya berbicara dengan guru lain.
Selama pembelajaran itu suara guru kadang-kadang memelan sampai tidak jelas. Saya tidak bisa memastikan apakah karena koneksi atau yang lain. Rumah tempat siswa itu tidak terlampau jauh dari pusat kota. Hanya sekitar 10 kilometer. Dia menggunakan saluran wifi.
Gambarnya terang. Sempat gambar guru itu tiba-tiba menghilang. Yang ada hanya kursi kosong. Tapi suaranya masih jelas. Sampai akhir pelajaran gambar guru itu tak muncul lagi.
Selain berceramah, guru itu menyertakan video. Ada beberapa potong. Nara sumbernya berbeda. Sampai penjelasan besaran pokok dan turunan saya bertanya kepada siswi yang kelihatan serius di samping saya itu. “Kamu paham?” Dia menggeleng. Senyumnya mengembang.
Anak itu menggunkan dua HP. Satu untuk tatap muka via zoom. Yang lain, milik ibunya, untuk melihat materi pelajaran yang dikirim sebelumnya. Saya mencoba melihat materi itu. Cukup detail. Ada grafiknya.
Sampai proses pembelajaran selesai tak ada komunikasi timbal-balik. Sama sekali guru tidak bertanya kepada siswa. Demikian sebaliknya. Akhirnya proses belajar-mengajar ditutup oleh guru lain dengan memimpin doa bersama.
Selama proses pembelajaran berlangsung, kedua orang tua anak itu tidak mendampingi. Dia sibuk dengan pekerjaannya. Wiraswasta.
Banyak orang yang mengatakan pendampingan itu penting. Karena banyak problem yang tidak bisa diatasi siswa. Sampai-sampai ada orang tua yang meninggalkan pekerjaannya demi mendampingi anaknya itu. Ironis. Mereka bisa menyekolahkan anaknya karena pekerjaan itu. Tetapi harus membolos kerja demi anaknya.
Begitulah gambaran pembelajaran daring. Memang banyak persoalan. Semoga segera ditemukan solusi. (hq@jawapos.co.d)