RADARSEMARANG.COM – Kira-kira seminggu lalu seorang teman menawari saya sepeda. Gambarnya dikirim lewat WA. Saya amati baik-baik. Warna hitam. Tidak usah saya sebut merek. Yang pasti sangat terkenal. Harganya cukup menghibur. Bisa membuat tersenyum. Mau tahu? Rp 100 juta.
Semula saya memperkirakan harga sepeda itu hanya belasan juta. Seperti sepeda MTB yang iklannya sering saya lihat di handphone. Mereknya sama persis. Sepintas rangka juga tidak jauh berbeda. Stang mirip sepeda balap. Velg depan jenis bintang. Yang belakang memakai jeruji.
Teman saya menyebut, harga segitu itu hanya. Padahal bekas. Maklum, di toko jauh lebih mahal. Belinya Rp 150 juta. Sebelum wabah Covid-19 merajalela. Saya manggut-manggut.
Banyak orang mendorong agar saya bersepeda seperti yang dilakukan anak-anak muda belakangan. Jumlah mereka terlihat semakin banyak. Bukan hanya di kota besar seperti Semarang. Di kota-kota kecil juga, seperti Kudus, Pati, Pekalongan, dan Salatiga. Bersepeda sudah menjadi daya hidup
Seorang guru yang sejak kecil berteman dengan saya sering menggoda dengan memperlihatkan kebanggaannya bersepeda. Banyak tempat wisata yang dijelajahi. Sepedanya persis seperti kepunyaan saya. Jenisnya sepeda gunung. Masih asli dari toko. Hanya sadel yang diganti lebih empuk seharga Rp 200 ribu.
Sebagian karyawan di perusahaan yang saya pimpin juga tergiur. Malah ada yang ke kantor juga bersepeda pancal. Meskipun hari berikutnya tidak lagi. Kira-kira enam tahun lalu juga sudah ada karyawan yang terjangkit wabah seperti itu. Saya juga membelinya saat itu. Sampai sekarang masih baik. Sekali-sekali saya pakai juga.
Beberapa hari lalu adik saya mengungkapkan keinginannya membeli sepeda lagi. Sekaligus dua. Di rumahnya sudah ada tiga. Maunya bersepeda sekeluarga. Pada Minggu pagi ketika anak-anaknya tidak bersekolah. Saya amini saja.
Suatu saat saya nyaris tergoda. Kapolda Jateng yang saat itu masih dijabat Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel mengajak gowes. Beliau mengirimi kaos lewat seorang teman. Di lain waktu beliau sendiri yang menyerahkan jersey warna putih-hijau muda dengan aksen hitam. Rasanya sampai sungkan. Apalagi di kantor juga semakin banyak karyawan yang bersepeda.
Sejauh ini saya belum terpengaruh. Olah raga tetap jalan kaki. Setiap pagi. Kira-kira 1 – 1,5 jam. Sekitar 4 – 6 kilometer. Kadang membosankan. Tempatnya itu-itu juga. Paling-paling keliling kota. Tapi, tidak bisa jauh-jauh. Berbeda dengan bersepeda yang bisa menjelajah sampai luar kota.
Saya amati memang semakin banyak orang yang bersepeda. Motifnya macam-macam. Ada yang istiqamah berolah raga supaya sehat. Rohmad, teman saya, semakin rajin mancal setelah persendian kakinya gampang digerakkan. Semula dia tidak bisa sujud. Kemudian disarankan untuk bersepeda. Sekarang setiap hari gowes sekitar 20 kilometer. Berat badannya turun dari 100,6 kilogram menjadi 92,6 kilogram.
Ada pula yang menyenangkan hati. Di sela kesibukan, mereka menggenjot pedal ke objek-objek yang lagi viral. Ikut menyemarakkan wisata alam. Sutanto, teman saya yang lain, kemarin ke Waduk Logung. Objek wisata di Kudus yang belakangan digemari anak-anak muda. Nano, ASN di Pati, menjajal Bukit Tempur di Jepara.
Tidak sedikit pula yang ikut-ikutan. Mereka terbawa arus gaya hidup yang lagi ngetren. Lihat di Simpang Lima Semarang setiap pagi. Juga di kota-kota lain. Apalagi pada akhir pekan.
Tidak masalah. Apapun motifnya, paling tidak, gaya hidup ini bermanfaat. Yang tidak baik kalau anget-anget tahi ayam. Sudah telanjur membeli sepeda mahal, terpakai beberapa kali saja. Sudah telanjur bertengkar dengan istri, sepedanya dongkrok juga.
Gaya hidup kadangkala kejam. Tak mengherankan ada guyonan yang sekarang lagi viral. Dulu ketika belum punya apa-apa, ingin sekali meniru temannya membeli sepeda. Setelah bisa membeli sepeda, temannya membeli motor. Dia forsir untuk membeli uduk. Setelah punya motor, temannya naik mobil. Dia pun pinjam uang di bank untuk membeli mobil. Ternyata temannya itu berganti naik sepeda. Dia mati gaya. Demikianlah gaya hidup.
Yang penting jangan sampai menyiksa diri dan keluarga. Penghasilan yang tidak seberapa habis menuruti keinginan sesaat. Juga jangan sampai melalaikan pekerjaan yang notabene menghidupinya. Apalagi sampai memaksakan diri seperti membeli sepeda yang ratusan juta rupiah tadi. (hq@jawapos.co.id)