RADARSEMARANG.COM – Tanggal 1 Juli 2020 lusa Jawa Pos genap berusia 71 tahun. Saya ikut mewarnai perjalanannya selama 35 tahun. Sejak koran dengan pembaca terbanyak itu berkembang sampai sekarang.
Saya lupa kapan persisnya masuk Jawa Pos. Yang saya ingat, sehari setelah pemakaman KH Machrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo Kediri, saya mengikuti tes wawancara untuk menjadi wartawan.
Salah seorang pewawancara –namanya Margiono- menanyakan, “Apakah kuat menjadi wartawan? Badanmu kan kurus?” katanya. Saat itu berat badan saya tidak sampai 50 kilogram. Ukuran celana nomor 27–28. Kalau sekarang 63 kilogram, mungkin tidak memiliki bakat gemuk.
Pertanyaan itu saya jawab dengan percaya diri. “Tadi malam baru pulang dari pemakaman KH Machrus Ali. Rumah saya di Malang. Buktinya pagi ini bisa mengikuti wawancara di Surabaya dan tidak terlambat,” kata saya. Perjalanan Malang – Kediri dengan membonceng motor teman. Sedangkan Malang – Surabaya dengan bus.
KH Machrus Ali wafat 26 Mei 1985, tidak sampai tiga bulan dari meninggalnya sang istri. Beliau kiai besar. Pernah menjadi rois suriyah NU Jawa Timur selama 27 tahun dan Mustasyar PBNU. Saya bertakziah saat pemakamannya. Meliput untuk majalah yang diterbitkan takmir Masjid Jami Malang.
Alkisah, saya diterima menjadi wartawan. Saat itu Jawa Pos masih mulai berkembang di bawah kepemimpinan Dahlan Iskan. Seingat saya oplahnya masih sekitar 25.000. Jauh di bawah Surabaya Pos yang menguasai pasar Jawa Timur dengan oplah ratusan ribu. Apalagi dengan Kompas yang merajai pasar Indonesia.
Dahlan Iskan belum menjadi bos besar. Bahkan belum diangkat sebagai direktur. Dia baru diberi kepercayaan oleh Eric Samola, Dirut Grafiti Pers yang menerbitkan majalah Tempo, untuk mengembangkan Jawa Pos. Koran itu diambil dari tangan The Chung Sen (Suseno Tedjo) yang mendirikannya 1 Juli 1949. Saat itu oplah Jawa Pos hanya sekitar 6.000 eksemplar.
Dia wartawan tulen. Berangkat dari koran kecil di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Kemudian mengikuti pendidikan kewartawanan di Jakarta yang diselenggarakan LP3ES. Dari situ Dahlan diambil oleh majalah Tempo. Prestasinya menonjol. Sehingga diangkat menjadi kepala biro Tempo di Surabaya. Selanjutnya putra asli Magetan ditugasi oleh Eric Samola untuk memimpin Jawa Pos.
Saya beruntung menjadi muridnya. Bahkan, pelajaran pertama di Jawa Pos saya peroleh dari dia. Materinya rukun iman. Itu istilah untuk menyebut news value (nilai berita). Begitu mendasarnya bagi wartawan, news value itu sampai disebut rukun iman. Harus dihafalkan, dihayati, dan diamalkan. Sampai sekarang saya masih hafal. Sekarang saya juga mengajarkan kepada wartawan lain.
Dahlan mengajari menuis lengkap. Sejak perencanaan, turun ke lapangan, sampai menuangkannya di tulisan. Dia detail. Mengajari menulis dari pemilihan kata, merangkai suku kata, sampai terbentuk kalimat yang enak dibaca. Dia membimbing dari mana menulis sampai mengakhirinya.
Bapak dua anak itu bukan hanya guru wartawan. Melainkan guru di semua bidang. Dia sendiri yang mengajari karyawan di bagian umum, administrasi, pemasaran, keuangan, dan percetakan. Sampai akhirnya Jawa Pos menjadi raksasa dengan pembaca terbanyak di Indonesia.
Dia cetak ratusan pemimpin yang diterjunkan di anak-anak perusahaan. Leak Kustiya, yang sekarang menjadi Dirut Jawa Pos, adalah mutiara yang ditemukan sendiri oleh Dahlan. Ketika masuk Jawa Pos, Leak bukan siapa-siapa. Dia seorang karikaturis yang sehari-hari menggambar. Membuat kartun strip juga. Kalau malam suka tidur di kursi kemulan sarung. Saya tahu persis.
Atas kesempatan yang diberikan Dahlan, Leak mengeksplorasi kemampuannya. Mendisain halaman koran. Sehari-hari siang malam waktunya dihabiskan untuk membuat koran yang bukan hanya enak dibaca, tetapi juga enak dipandang. Sekarang seluruh koran di bawah grup Jawa Pos menggunakan disainnya. Bahkan koran-koran lain mengadopsinya.
Leak diangkat menjadi pucuk pimpinan di Jawa Pos setelah melalui jalan panjang. Dia bukan berangkat dari wartawan. Tapi, akhirnya bisa menulis. Azul Ananda, putra Dahlan yang waktu itu menjadi dirut Jawa Pos, mengangkatnya sebagai pemimpin redaksi karena kemampuannya mengembangkan koran.
Kini, setelah Dahlan tidak lagi aktif dalam manajemen Jawa Pos, anak asli Grobogan itu masih terus mikul duwur mendem jero. Konsisten menerapkan ilmu-ilmu yang ditularkan kepadanya.
Tantangannya sangat berat. Pandemi korona mengerem semua sektor kehidupan. Termasuk perkembangan media massa. Di sisi lain media sosial yang tidak berbayar terus mendominasi perhatian.
Leak, dengan integritas dan pengalamannya, akan terus membawa koran ini pada relnya. Saya di Radar Kudus dan Radar Semarang, serta teman-teman lain di bawah grup Jawa Pos, akan bergerak bersama.
Selamat Ulang Tahun Jawa Pos. (*)