RADARSEMARANG.COM – Hari itu, 3 April 2020. Hari penentuan kedua. Apakah saya terserang virus korona atau tidak. Hati yang sudah mulai tenang dalam seminggu itu, bergejolak lagi. Bayangan malaikat maut muncul lagi. Malah lebih menyaramkan. Kalau positif korona, penderitaan bertambah panjang.
Hari penentuan kedua itu saya pilih sendiri. Itu hari baik. Jumat. Konon orang Islam yang mati di hari Jum’at tanpa dihisab (ditimbang amal baik buruknya). Dirut RS KMRT Wongsonegoro Susi Herawati semula menolak. Dia menyarankan hari Senin, 5 April. Arif Riyanto, pemimpin redaksi Radar Semarang, yang mengantar saya, menawar. “Senin terlalu lama, Bu,” katanya. Akhirnya Susi memberi jalan.
Sebelumnya Susi memerintah agar saya tes covid-19 lagi 7–10 hari setelah tes pertama. Tes pertama tanggal 28 Maret 2020. Hasilnya negatif (Baca tulisan seri 1, seri 2, seri 3, seri 4, seri 5, dan seri 6). Tapi harus tes lagi. Bisa jadi, yang kedua justru positif. Keakurasian rapid test, alat yang digunakan, 85-90 persen.
Saya ingin tes lagi secepatnya. Mumpung kondisi badan masih fit. Tidak panas, tidak batuk, tidak radang tenggorokan, dan tidak sesak nafas. Hari ketujuh setelah tes pertama itu jatuh hari Jumat. Biasanya malam Jumat saya ingat mati. Membaca tahlil, surat Yasin, dan ayat-ayat Alquran lain untuk orang-orang yang sudah meninggal.
Kebetulan malam itu mendapat jatah khataman Alquran berjamaah bilgho’ib (bersama-sama di tempat yang berbeda). Membaca kitab suci itu saya gaspol sampai tengah malam, pagi sebelum tes, dan siang setelah tes sampai hasil tes keluar. Saya tinggalkan menonton televisi dan membuka media sosial.
Malam itu saya konsentrasi betul. Seolah menghadapi vonis sidang banding. Pada tingkat pertama bebas. Bisa jadi yang kedua kena.
Ketakutan meningkat. Pilek saya kambuh. Semalam suntuk tak bisa tidur. Sudah membaca Alquran sampai tengah malam. Membaca ayat kursi dan zikir yang lain juga. Sampai bibir berhenti sendiri. Mata belum terpejam. Berarti dalam seminggu sudah tiga kali tidak tidur semalam suntuk.
Yang terpatri di otak malam itu adalah penderita korona terus bertambah. Hari itu mencapai 1.511 kasus positif di Indonesia. Sebanyak 102 di antaranya meninggal. Akankan saya menjadi korban berikutnya?
Pagi berikutnya, di sela membaca Alquran, saya unggah rekaman video drh Indro Cahyono ke grup WA perusahaan. Itu hanya untuk menghibur diri. Indro sudah meneliti virus selama 20 tahun. Katanya, belum tentu virus korona menimbulkan kematian. Itu sedikit melegakan.
Dia menakuti juga. Virus korona memang ganas. Orang yang sakit dan berumur tua sangat berisiko. Saya termasuk yang berusia tua itu. Apalagi pernah kontak dengan penderita positif korona. Saat itu pilek lagi.
Indro bercerita, korona tidak bisa menembus orang yang memiliki antibodi kuat. Di luar badan dia hancur dengan sabun dan udara panas. Iklim Indonesia mendukung. Suhu udara rata-rata 26–30 derajat celcius. Pada suhu itu virus tak bisa bertahan lebih dari satu menit. Itulah sebabnya orang disarankan untuk berjemur.
Saya pegang kunci agar punya antibodi kuat. Makan cukup. Sehari tiga kali. Setiap pagi berjemur dan melakukan gerakan SPG (sing penting gerak). Hati tenang. Untuk yang terakhir itu saya sering memutar video pengajian Gus Baha (KH Bahauddin Nur Salim). Seorang ahli tafsir dan fiqih.
Pagi sebelum pukul 06.00 Arif Riyanto mengirim pesan. “Rapid test hari ini jam 8, Pak. Nanti saya ke kantor. Nuwun.” Dia sebenarnya ketakutan berdekatan dengan saya. Istrinya juga. Apalagi Arif pernah dikucilkan di kampung. Tetapi dia selalu tunjukkan hati nuraninya untuk mengantar saya ke rumah sakit.
Pagi itu dia mengantar saya ke RS Wongsonegoro. Sama-sama mengenakan batik tulis biru. Seragam Radar Semarang. Saya yang menyetir mobil. Dirut rumah sakit Susi Herawati menemui di lobi. Seperti sebelumnya saya diarahkan langsung ke laboratorium. Kali itu tak berani memandangi lorong-lorong yang sepi. Pandangan lebih banyak ke langkah kaki. Sampai beberapa kali salah jalan.
Meski seminggu sebelumnya sudah dites kovid, masih nderedeg juga. Dalam hati saya baca salawat tibbil qulub seperti disarankan kiai-kiai NU. Berulang-ulang. “Allahumma sholli ‘ala Muhammadin thibbilqulubi wadawaiha wa’afiyatilabdani washifaaiha wanurilabshori wadhiyaiha (Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad, sebagai obat hati dan penyembuhnya, penyehat badan dan kesembuhannya, sebagai penyinar penglihatan beserta cahayanya).
Saya tak berani menatap perawatnya. Khawatir seperti melihat malaikat maut. Dia memakai baju biru muda dengan penutup kepala merah. Mengenakan masker. Hanya mata yang terlihat. “Bapak diambil darah dulu, ya,” katanya.
Saya lihat di tangannya tidak ada alat rapid test. Darah diambil seperti pemeriksaan di laboratoirum pada umumnya. Sempat terjadi kesulitan. Saluran darahnya mengecil. Hati menjadi deg-degan. Tidak biasanya seperti itu. Suster menepuk-nepuk lengan itu agar tidak tegang.
Jarum suntik lantas dialihkan ke lengan kanan. Sulit juga. Akhirnya dipaksa. Persis di tekukan siku. Saya baca La haula wala quwwata illa billahi alaliyyil adzim. Menetesnya lama. Pelan sekali. Itu membuat hati tidak tenang. Darah itulah yang kelak akan menentukan ada tidaknya indikasi virus korona.
Pengambilan darah seperti itu dilakukan agar saya cepat bisa pulang. Saat itu alat rapid-test-nya belum ada. Harus diambil dulu. Hasilnya pun cukup lama dikirim.
Hari itu menjadi penantian panjang. Membikin jantung berdetak keras. Apalagi sampai pukul 10.00 hasil tak kunjung dikirim. Padahal, hasil tes pertama dikirim pukul 09.47. Saya bunuh kegalauan dengan terus membaca Alquran.
Pukul 19.10 Arif baru mengirim pesan. Terusan dari petugas rumah sakit. Isinya pemeriksaan. Saya langsung menatap hasilnya. Kali kedua itu punya nyali lebih. Alhamdulillah. Negatif. Seperti tes pertama. Yang membuat hati tak tenang di bawahnya ada keterangan. Pemeriksaan ulang 7-10 hari berikutnya. Tak jadi bersukaria lagi.
Untungnya Arif segera menetralisasi. Keterangan itu ada karena dikira baru tes pertama. Meski demikian saya harus melanjutkan karantina mandiri. Hari itu baru hari ke-7. Masih tujuh hari lagi. Kalau pada masa itu sakit bisa berbahaya. Saya harus menjaganya. Bersambung. (hq@jawapos.co.id)