RADARSEMARANG.COM – Malam pertama ketika saya mengisolasi diri seolah menjadi awal kematian banyak orang. Mereka ketakutan. Khususnya teman-teman di Radar Semarang. “Malam itu karyawan panik. Gak bisa tidur,” kata Listyorini, Kepala Biro Magelang.
Indah Fajarwati, Manajer Keuangan, mencret-mencret. Ida Fadilah, wartawati, menangis. Aden, yang juga wartawan, tidak berani masuk rumah. Arif Riyanto, pemimpin redaksi, mandi keramas berlama-lama. Di kampung pun dikucilkan. Rizal Kurniawan, redaktur, juga mandi sebelum bertemu anak istrinya.
Indah adalah orang yang paling banyak berhubungan dengan saya. Posisinya strategis. Semua data keuangan ada padanya. Dia sekaligus sebagai sekretaris perusahaan. Saya, yang tak punya ruang kerja, sering duduk di depannya. Pernah saya ajak dia ke Mageleng naik bus. Duduk berdampingan. Kalau saya terkena korona, dia kemungkinan tertular.
Saya anggap dia orang sakti. Tak terpengaruh keadaan saya yang pernah kontak dengan penderita korona. Saya tetap diperbolehkan ke ruangannya, meskipun tidak lagi duduk di depannya. Berkali-kali saya bicara dengannya. “Sakti pripun (bagaimana), Bos? Dia langsung mencret-mencret malam itu juga,” kata Iskandar, GM Radar Semarang, memberi tahu.
Tanggal 27 Maret 2020 Imam Suroso meninggal. Segera tersiar kabar dia positif korona (Baca seri 1 Serasa Telah Dijemput Malaikat Maut dan 2 Semalam Suntuk Tidak Bisa Tidur). Sebelum saya mengetahui keadaan yang sebenarnya, teman-teman di Jawa Pos Radar Kudus dan Radar Semarang heboh. Saya pernah kontak dengan Imam. Aden, wartawan Radar Semarang, memastikan. Dia temukan foto saya duduk berdampingan dengan Imam tertanggal 11 Maret 2020.
Malam itu saya di kamar. Aden ketakukan. Khawatir tertular korona secara berantai dari saya. Tak berani masuk rumah. Khawatir menulari anak dan istrinya. Dia tidur di teras. Di bawah rimbunnya pohon mangga. Padahal dia sudah mandi malam segala. “Habis mandi terus mlipir tidur di teras,” kata Aden berterus terang.
Dia menceritakan juga betapa paranoidnya Ida Fadilah. Wartawati yang baru setengah tahun bergabung dengan Radar Semarang itu sampai menangis. Ida mendesak Arif Riyanto, pemimpin redaksi yang mengantar saya ke rumah sakit, segera mandi keramas. Dia menyodorkan sabun. Dengan sabun itulah Arif keramas berulang-ulang. Saat tengah malam.
Rizal Kurniawan, redaktur yang ikut mengantar saya ke rumah sakit, tak kalah bingung. Tengah malam itu dia pulang. Sampai rumah langsung mandi keramas. Khawatir kalau ada virus yang menempel di badannya bisa menulari istri dan anak. Saat itu, anaknya sedang sakit. Saya telah membesuk.
“Kalo mlm itu pak bae jadi rapid test dan positif, maka saya yg duduk di sebelahnya dan rizal di belakangnya bakal ODP yg pertama,” kata Arif lewat WA. Saya tulis kata-kata persisnya.
Malam itu saya minta Arif mengantar ke RSUP Kariadi untuk tes korona. Rizal Kurniawan, redaktur, ikut serta. Dua-duanya tanpa masker. Saya juga.
Waktu itu masker sedang langka-langkanya. Saya sudah minta karyawan Radar Semarang dan Radar Kudus bergerilya. Sebagian meraka mendapatkan selembar hanya untuk dirinya. Indah Fajarwati dan Etty Muyassaroh, Manajer Keuangan Radar Kudus, sampai memesan langsung ke pabrik Sritex di Sukoharjo. Tersedianya beberapa hari kemudian. Masker itu akhirnya dibagikan ke karyawan dan loper.
Arif yang akrab dipanggil Aro khawatir. Tapi dia tak mau bilang. Sementara itu, di rumah sakit semua petugas memakainya. Mulai security, cleaning service, resepsionis, sampai perawat dan dokter. “Pokoke pede,” katanya. Dia tunjukkan hati kemanusian untuk menyelamatkan direktur. Saya berterima kasih.
Peran Aro mengantar saya ke rumah sakit itu menimbulkan kehebohan. Di kampungnya malah tersiar kabar dia terpapar korona. “Istri saya yg salah cerita ke istri Pak RT,” katanya.
Saat kerja bakti hari Minggu berikutnya, perasaannya tidak enak. Banyak orang menjahui. Sampai ada warga yang pulang mengambil masker. “Mas Arif kok tidak isolasi diri saja?” Tanya Ketua RT. Arif heran. “Lha siapa yg sakit, Pak RT?” Jawabnya balik bertanya.
“Ibunya kemarin bercerita, katanya Mas Arif habis mengantar takziah bosnya ke Pak Imam Suroso di Pati yg meninggal itu,” jelas Pak RT. Arif baru ngeh. Istrinya salah bercerita. Yang benar, Arif mengantar saya (direkturnya) ke rumah sakit untuk tes korona. Karena saya pernah kontak dengan Imam Suroso sebelum dia wafat.
Kabar bahwa Arif itu terpapar korona sampai menyebar ke RT sebelah. Warga bertambah yakin karena Jumat malam, anak dan istri tidur di rumah neneknya di Pusponjolo. Itu dikira mengungsi.
Minggu malam dia mendapat pesan WA dari RT sebelah. “Mas, opo wis sehat, kok tadi lewat depan rumah?” Lanjut WA itu, “Ojo lali Mas, besok pagi berjemur ya, biar cepet sembuh.” Untuk menetralisasi warga, Arif langsung menjemput anak istrinya Senin pagi.
Jangankan Arif, saya juga dijauhi banyak orang. Maria, wartawati, misalnya, tidak mau ke kantor Radar Semarang. Namun, dia masih mau membelikan kerang rebus lewat ojek online. Semua itu saya renungkan di kamar pengasingan, tempat isolasi diri. Bersambung. (hq@jawapos.co.id)