RADARSEMARANG.COM – Malam itu langit Kota Semarang cerah. Kelihatan empat dari dari delapan pohon pagoda di pinggir kolam renang sedang berbunga. Bermekaran. Warnanya putih. Saya memandangi dari teras kamar yang posisinya di atas kolam itu.
Mestinya suasana seperti itu nyaman sekali. Sayang, saya tak bisa menikmati. Badan terasa dingin. Keringat malah membasahi. Beberapa kali keluar-masuk kamar yang berpendingin. Tetap sama. Keringat tak berhenti.
Pikiran terus tertuju pada malaikat pencabut nyawa. Sewaktu-waktu dia bertindak. Hari itu, 27 Maret 2020, ada 9 korban Covid-19 di Indonesia yang meninggal. Sehingga total menjadi 78. Orang yang positif korona bertambah 153. Sehingga menjadi 1.046.
Pukul setengah sepuluh malam itu Imam Suroso baru saja meninggal. Dia positif terserang virus korona yang belum ada obatnya. Saya pernah duduk berdua dengannya. Berdekatan. Berjabat tangan. Gundang-gundangan. (Baca tulisan kemarin, 6/4/2020, berjudul Serasa Telah Dijemput Malaikat Maut).
Sejak kontak dengan beliau sampai dia meninggal, saya masih berhubungan dengan banyak orang. Saat itu belum diketahui Pak Imam terkena korona. Kondisinya sehat. Orang-orang di sekelilingnya juga. Kalau saya positif korona, mereka bisa menjadi ODP
Saya masih rapat bersama para manajer di Radar Kudus, mengikuti tahlil, berkumpul dengan anak-anak di rumah Sidoarjo, ke Magelang dua kali, naik bus berdua dengan Manajer Keuangan Radar Semarang Indah Fajarwati, selamatan kepindahan kantor Biro Kedu, rapat bersama para manajer Radar Semarang, dan masih banyak lagi. Sejauh itu, belum ada pembatasan sosial berskala besar.
Sebagian kegiatan telah dilakukan sesuai protap yang ditentukan pemerintah. Menjaga jarak dan mengenakan alat pelindung diri. Tetapi, ketakutan saya tetap tinggi.
Di atas kolam renang di bagian belakang kantor Radar Semarang saya termenung. Berusaha menenangkan diri. Saya timbang-timbang apa yang disarankan Etty Muyassaroh, Manajer Keuangan Radar Kudus yang juga sekretaris perusahaan. “Tes covid.” Kalau saya lakukan dan positif, bisa mati. Tidak tes pun bisa mati.
Berkali-kali saya bergumam, “Inna sholati, wanusuki, wamahyaya, wamamati lillahi robbilalamin (Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam). Setiap hari kalimat itu juga saya ikrarkan dalam salat. “Kenapa masih takut mati,” tanya saya dalam hati.
Saya ingat pesan Gus Baha (KH Bahauddin Nur Salim) dalam pengajiannya. Baca ayat kursi. Kiai besar, penghafal Alquran, ahli tafsir dan fiqih, itu selalu membacanya. Bahkan beliau tidak bisa tidur kalau belum membaca ayat itu. Terdapat dalam surat Albaqoroh ayat 255.
Ayat itu sangat spesial. Kalau ayat-ayat lain dalam Alquran menerangkan tentang manusia, ayat kursi menerangkan diri-Nya. Kalau ayat-ayat lain dibawa malaikat Jibril dari laukhil makhfud, ayat ini diambil langsung oleh Nabi Muhammad di kanzul arsy.
Ayatnya panjang. Saya baca berulang-ulang. Saya hayati maknanya. Potongannya, “Allahu la ilaha illa huwa alhayyul qoyyum. La tak’huduhu sinatun wala naum. Lahu ma fissamawati wama filal’ard…” dan seterusnya. (Allah, tidak ada tuhan kecuali Dia, dzat yang hidup, yang berdiri sendiri, tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi …).
Setelah tenang saya ke ruang redaksi Radar Semarang di lantai tiga. Masih ada Pemimpin Redaksi Arif Riyanto dan Redaktur Pelaksana Ida Noor Layla. Saya tanya, rumah sakit mana yang melayani tes covid? “Semua rumah sakit milik pemerintah,” kata Ida. Dia segera mencari kontak.
Saya putuskan untuk tes covid malam itu. Proaktif memenuhi anjuran pemerintah. Juga teman-teman. Agar kalau positif segera mendapat penanganan. Biar tidak menulari orang lain. Saya bertekad, apapun hasilnya, tes itu harus saya lakukan secepatnya.
Arif Riyanto dan redaktur Rizal Kurniawan mendampingi ke RSUP Kariadi yang dekat kantor. Sampai di sana sudah kemaleman. Pelayanan tes covid telah selesai. Saya mendesak agar bisa tes malam itu juga. Petugas yang masih ada di sana tak mau melayani. Saya diminta kembali esok hari.
Ternyata tes covid itu tidak mudah. Tengah malam itu saya harus kembali ke kantor. Arif dan Rizal ke ruang redaksi. Saya ke kamar di bagian belakang. Mengisolasi diri.
Dalam perjalanan Arif bertanya, “Apa Pak Baehaqi sudah minum obat?” “Obat apa? Saya ini sehat. Hanya minum obat flu,” jawab saya. Sudah beberapa hari saya pilek. Tidak panas, tidak batuk, tidak sesak nafas, dan tidak sakit tenggorokan. Tidak ada tanda-tanda terserang korona seperti yang gencar disampaikan para ahli dan petugas kesehatan.
Saya tetap khawatir. Orang yang terserang korona bisa tidak menunjukkan gejala apapun. Banyak orang yang merasa sehat ternyata dia positif.
Kalau saya ketularan korona, malam itu virusnya berpesta-pora. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Saya pasrah. Untuk menenangkan diri saya baca ayat kursi lagi. Sebanyak-banyaknya. Sampai azan subuh berkumandang, mata belum terpejam.
Semalam suntuk tak bisa tidur. Bersambung. (hq@jawapos.co.id)